Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung.
Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api
neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa
yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah
(penghuni surga
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung.
Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api
neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa
yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah
(penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid
(Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa
gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk
membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا
الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga,
sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa
makna.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan
surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ
شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi
bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari
Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian
lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan,
ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan
amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu
persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi
tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah
pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima
persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan
perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika
ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).
Apalagi masalah ilmu dan
pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman
Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka
ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف:
86]
Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka
meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya
tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan
terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda
kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan
hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut
kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal.
52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya
keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan
persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam
persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا
الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus
syarat-syarat.
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna
syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman
Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi
kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن
عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada
ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR.
Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap
kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika
seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap
persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات:
15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah
memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu
dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah-
sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ
الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ
قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya
yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu
bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ
فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang
menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan
yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka
berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu
Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala
konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan
lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi
kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا
ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu
apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang
berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata:
"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena
seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits
adalah:
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا
بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ
رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه
البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama
Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya
maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak
mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku
diutus dengannya. (HR. Bukhari)
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk
dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ
اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala
urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud
kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika
mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya
berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2]
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami
telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
(al-Ankabut: 1-3)
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَا مِنْ
أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ
صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه
البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi
bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan
mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)
Syarat keenam:
Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya
diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam
kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan,
kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka
beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar:
2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ... [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan)
agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ
بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا
مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan
syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ
dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh:
Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta
terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya
dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara
yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]
Dan diantara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)
dan sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ
أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه
البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan
mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya
daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya
kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk
dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).
Syarat ke delapan:
Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah.
Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun
pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya:
“Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas
kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud
(sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang
menyebabkan seseorang kufur dan syirik.
Maka pimpinan yang harus
diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka
setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha
bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
Dan dalam
hadits:
مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ
اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه
مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap
apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun
perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar