Penulis: Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah
an Nawawi
Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah.
Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah.
Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya,
ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.
Tak kenal maka tak
sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka
tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan
larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan
sebenarnya.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan
sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang
demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta
kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allah
sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya
ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan
musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan
demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang
akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri,
dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk
ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan
hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa
aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala
macam problema hidup.
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah
tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat
kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal
Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka dari itu
mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat
mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah
ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal
Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Keempat
cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik
global maupun terperinci.
Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29,
mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an
dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua,
melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam
firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang
dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki
akal.” (QS. Ali Imran: 190)
Juga dalam firman-Nya yang lain:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang,
serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al
Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman bahwa Allah
itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia,
dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk
ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan
menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin
ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita
melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di
dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau
Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian
pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak
dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah
mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat
jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa
manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini
bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi
seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin hal 41-45)
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah
mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan
pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang
menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat
dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik
hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi
Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada
seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’
Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini
bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas,
berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan
selain-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah
tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan
demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini
mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa
tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui
jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka
inginkan dari sesembahan itu?
Allah telah menceritakan di dalam Al
Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang
yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak
menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan
sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan
syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan mereka
menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan
manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang
memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy
Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebagian orang
kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa
firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan
mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu
bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang
menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut:
61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS.
Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka
terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak
menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta
mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum
muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara
kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak
mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan
keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus
berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan
para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi
para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang
paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak
dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa
memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam
marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan,
menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang
meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan
pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar
hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal
Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan
bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih,
bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan
Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu
jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di
sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah
berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan
hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan
apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah
berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan
hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak
bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah
karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling
ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di
dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya.
Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini
dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus
menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam
hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang
melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan
membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang
mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu
orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke
tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni
tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang
menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia
pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di
tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah
dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman
bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah
dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang
tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya.
Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman
Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya
sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang
nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan
apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah.
Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai
dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)
Ketika berbicara tentang
sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah
dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu
yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian
berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan
janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)
Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar