Kata ibadah tentu sangat akrab bagi kaum
muslimin. Ibadah merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
seorang muslim. Bahkan tujuan diciptakannya manusia dan jin oleh Allah Subhanahu
Wa Ta'ala tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya.
Di tengah rutinitas menjalankan aktivitas ibadah,
bisa jadi tidak semua muslim paham makna ibadah itu sendiri. Padahal,
ketidakpahaman makna ibadah bisa mengakibatkan tertolaknya ibadah yang
dilakukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Ubudiyyah
menerangkan, ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bisa terdiri dari ucapan maupun perbuatan,
baik nampak maupun tidak.
Semua yang Allah cintai telah Allah bawakan dalam
Al Qur’an dan diterangkan oleh RasulNya. Begitu pula apa yang Allah benci, telah
Allah jelaskan. Sehingga di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, Allah Subhanahu Wa
Ta'ala memerintahkan suatu perbuatan karena Allah mencintainya dan Allah
melarang sebuah perbuatan karena Allah membencinya. Karena itu, dalam kesempatan
lain Ibnu Taimiyyah mengatakan ibadah adalah taat kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dengan melakukan apa yang Allah perintahkan melalui lisan para
RasulNya.
Pendapat Al Qurthuby bisa melengkapi penjelasan
Ibnu Taimiyyah. Menurut Al Qurthuby, asal ibadah adalah kehinaan dan ketundukan.
Karena itu amalan-amalan syar’i pada seorang mukallaf (seorang mukmin
yang sudah terbebani syariat) disebut ibadah karena mereka mengamalkannya dalam
keadaan tunduk dan menghinakan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.
Dari dua pengertian ibadah tersebut, diperoleh
penjelasan bahwa sesuatu dikatakan sebagai ibadah kepada Allah jika dilakukan
pada segala yang dicintai dan diridhai Allah serta dilakukan dalam keadaan
tunduk dan hina di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Dari sini, dipahami pula bahwa ibadah terbagi ke
dalam dua jenis, yaitu ibadah lahir dan ibadah batin. Ibadah lahir mencakup
ucapan lisan dan perbuatan anggota badan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan
seterusnya.
Dalam melakukan ibadah, seseorang harus memiliki
landasan agar ibadah tersebut diterima Allah. Dalam hal ini, para ulama
menjelaskan, ada tiga landasan yang harus dimiliki seorang muslim dalam
beribadah. Landasan pertama adalah mahabbah, yaitu rasa cinta kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, RasulNya Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan syariatNya.
Landasan kedua adalah raja’, yaitu mengharap pahala dan rahmat Allah, dan
yang ketiga adalah khauf, rasa takut dari siksa Allah dan khawatir akan
nasib jelek di akhirat nanti.
Seorang ulama bernama Ibnu Rajab Al Hambaly
mengatakan, ibadah hanya akan terbangun di atas tiga prinsip, yaitu
khauf, raja’, dan mahabbah. Masing-masing dari ketiganya
harus ada dan wajib menggabungkannya. Karena itu para ulama salaf mencela orang
yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan salah satunya saja.
Demikian Ibnu Rajab menerangkan. (Syarh Wasithiyyah karya Abdul Aziz Ar
Rasyid hal. 76).
Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan,
barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan cinta, dia adalah
zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran). Siapa yang beribadah kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya dengan rasa takut maka dia adalah harury
(Khawarij, yang menganggap setiap yang berdosa besar telah kafir). Siapa
yang beribadah kepada Allah hanya dengan raja’ (penuh optimis), maka dia
adalah murji’ (orang yang menganggap amal shaleh tidak berpengaruh
terhadap imannya, selama masih ada iman di hatinya). Dan barangsiapa beribadah
kepada Allah dengan cinta, takut, dan mengharap maka dialah orang yang bertauhid
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (Ma’arijul Qabul 2/437).
Jadi, pengakuan cinta kepada Allah tanpa disertai
rasa hina, takut, mengharap, dan tunduk kepada Allah adalah pengakuan dusta.
Karena itu, sering dijumpai orang yang berperilaku demikian seringkali terjatuh
dalam maksiat dan dilakukan tanpa ia peduli. Demikian pula orang yang hanya
memiliki sikap raja’ (mengharap, penuh optimis dengan ampunan Allah),
jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat berani melakukan maksiat dan
merasa aman dari makar Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Dan orang yang hanya memiliki rasa takut dalam
beribadah kepada Allah, jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat
su’udhan (buruk sangka) kepada Allah dan akan berputus asa dari
rahmatNya.
Perlu diketahui dan diingat pula bahwa tidak
semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Allah baru akan menerima ibadah bila memenuhi syaratnya. Allah jelaskan
dalam surat Al Kahfi ayat 110,
artinya:
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan
Allah hendaknya ia beramal shaleh dan tidak membuat sekutu di dalam ibadah
kepada Rabb-nya sesuatupun.”
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerangkan dalam ayat
ini bahwa seseorang yang menghendaki pertemuan denganNya hendaklah melakukan dua
hal. Pertama, beramal shaleh menuruti syariat ini sebagaimana dicontohkan oleh
Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini mutlak dilakukan, sebab bila menyalahi
contoh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam akan ditolak karena terjerumus ke dalam
bid’ah. Hal ini sebagaimana Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam jelaskan
:
“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang
bukan atas perintahku maka tertolak.” (HR. Muslim dari
Aisyah).
Yang kedua, tidak membuat sekutu apapun dalam
beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Artinya, ia harus benar-benar ikhlas
dalam ibadahnya. Hanya ia niatkan dan tujukan kepada Allah semata. Tidak kepada
selainNya, baik benda-benda yang dikeramatkan atau makhluk-makhluk yang tidak
mampu memberikan manfaat atau mudharat. Orang yang melakukan kesyirikan dalam
ibadahnya akan Allah tolak sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala terangkan dalam
hadits Qudsi :
“Aku paling tidak butuh kepada sekutu.
Barangsiapa melakukan ibadah yang ia menyekutukan Aku, maka aku akan
meninggalkannya bersama sekutunya.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga menerangkan di
dalam Al Qur’an :
“Dialah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalannya.” (Al
Mulk : 2-3).
Perhatikan, Allah menyatakan yang paling baik
amalannya bukan sekadar paling banyak amalannya, tetapi salah. Seorang ulama
bernama Abu Ali Fudhail bin Iyadh berkata menafsiri ayat tersebut : “Yakni yang
paling ikhlas dan paling benar”. Beliau ditanya,
“Wahai Abu Ali, bagaimana yang
paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab, sesungguhnya sebuah
amalan jika ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar tapi
tidak ikhlas, tidak diterima hingga menjadi benar dan ikhlas (baru diterima).
(Majmu’ Fatawa 11/6)
Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya akan
menerima ibadah seorang hamba jika dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan dipersembahkan hanya untukNya semata.
Ibadah itu juga dilakukan dengan dilandasi rasa cinta, penuh mengharap, dan juga
takut. Dengan demikikan sempurnalah ibadah itu dan diharap Allah Subhanahu Wa
Ta'ala akan menerimanya. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar