Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin :
5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat
kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna
penciptaannya dan alangkah indahnya!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya." (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa
menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan
mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!
Lalu
pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap
penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari
tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak
Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan
kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah 'Azza wa
Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam 'Alaihis Salam
:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah." (Shad :
71)
Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan
orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka
diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah
menciptakan mereka dari tanah liat." (Ash Shaffat : 11)
Dua ayat di atas
dan ayat-ayat Al Qur'an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya
asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh
ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal
tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain).
Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (Al Mukminun :
12-14)
"Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan
kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu
yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … ." (Al Hajj :
5)
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari
suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan
kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa 'Alaa saja yang berhak untuk
diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam 'Alaihis Salam yang
Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang
berbau busuk dan diberi bentuk.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk." (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut diambil dari seluruh
bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
:
"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak
tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam
(memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka
ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara
mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai
buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin)." (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan
Tirmidzi, berkata Tirmidzi : 'Hasan shahih'. Dishahihkan oleh Asy Syaikh
Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih
Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang
berkata dalam bait syi'irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau
busuk.
Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah
Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Adam 'Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan
pula Hawa 'Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
"Dia menciptakan
kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … ." (Az Zumar
: 6)
Dalam ayat lain :
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang
satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya
… ." (Al A'raf : 189)
Dari Adam dan Hawa 'Alaihimas Salam inilah terlahir
anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman :
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya
dari saripati air yang hina (mani)." (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari
rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam
dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman
202)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang
terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima') dalam
rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim
itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia
nyatakan dalam firman-Nya :
"Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang
hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu
yang ditentukan." (Al Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah, Allah jadikan
'alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari 'alaqah
menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah
itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala
kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang
dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang
tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk
tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa
dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam
Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah
kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman
dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai
'Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan
manusia) terucap dari lisannya pujian :
"Fatabarakallahu ahsanul
khaliqin"
Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah
turunkan firman-Nya :
"Fatabarakallahu ahsanul khaliqin" untuk melengkapi
ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3
halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman
507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta'ala, Dia memindahkan calon manusia
dari nuthfah menjadi 'alaqah. Dari 'alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa
membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga
kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
" … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … ." (Az Zumar : 6)
Yang
dimaksud "tiga kegelapan" dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang
menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut.
Demikian yang dikatakan Ibnu 'Abbas, Mujahid, 'Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak,
Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan
keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat
keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Abi 'Abdurrahman 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu
berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau
bersabda (yang artinya) "Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya
dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal
darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat
daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia
meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya,
ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia,
sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga
sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka
telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka
sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang
beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka
melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu
ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya." (HR. Bukhari 6/303
-Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan
bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga
bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama
sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga
dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan
seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di
atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah
nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu
berkata : "Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?" Lalu ia
menulisnya. Kemudian berkata lagi : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?"
Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya,
kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi.
(HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu 'anhu, shahih)
Dalam Ash
Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim.
Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah,
wahai Rabbku! Segumpal daging." Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan
penciptaannya, Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?
Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana
ajalnya?" Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477
-Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu
'anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga
dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan
keadaan nuthfah dan ia berkata : "Wahai Rabbku! Ini 'alaqah, ini mudhghah" pada
waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia
Subhanahu wa Ta'ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui
setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi
anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat
itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada
waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk
calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging,
dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian
itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan
sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna
bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
Apabila
telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat,
maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku!
Laki-laki atau perempuan … ."
Al Qadhi 'Iyadl dan selainnya mengatakan
bahwasanya sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan
dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna
dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk
pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu
menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu
40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan
perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Al Mukminun ayat
12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An
Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul
Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : "Adapun
sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya
pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir
hadits Ibnu Mas'ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak
manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits
Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara
penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana
pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi
menuliskannya."
Dalam ta'liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204
disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah
berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang
lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut
bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi
mudhghah. Wallahu A'lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi 'alaqah dan
seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40
hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit
demi sedikit hingga sempurna menjadi 'alaqah pada 40 hari yang kedua, dan
sebelum itu tidaklah ia dinamakan 'alaqah. Kemudian 'alaqah bercampur dengan
daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul
Bari)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini
telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun
madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya anak
ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin
seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah
memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa'id
Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan
Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : "Apabila janin
telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan
padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur)." (Lihat Iqadzul
Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah
Salim bin 'Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas
bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga.
Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu
40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An
Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah
membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) :
'Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40
hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga.
Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus
seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan
ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .'
Sabda
beliau ((… ????????…)) dengan menggunakan ((… ?? …)) menunjukkan diakhirkannya
penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang
ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah
waktu 40 hari yang pertama. Jawaban dari permasalahan ini adalah bahwasanya
sabda beliau ((… ????? ????? ????? ???? ???? ?? …)) merupakan ma'thuf dari
sabdanya ((… ??????????????? …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((…
????????????????? …)). Maka sabda beliau ((… ?????????????????
???????????????????…)) merupakan kalimat sisipan antara ma'thuf dan ma'thuf
'alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur'an,
hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab."
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
"Sabda beliau ((… ??????????????????????… ))
merupakan ma'thuf dari (( … ????? … )). Adapun sabdanya (( … ?????… )) merupakan
kesempurnaan dari kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan
bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga tahap
kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan
dalam hadits Ibnu Mas'ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja,
bukan susunan yang diberitakan." (Fathul Bari 11/485)
Yang jelas
penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang
ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang
demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma
:
"Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu
tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi." (HR. Muslim 2653,
shahih)
Dalam hadits 'Ubadah bin Shamit radhiallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah
ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : "Tulislah!" Maka
pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud
4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al
Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan
takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah
ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:
"Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau
di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia." Maka seorang laki-laki
berkata : "Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita
(yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?" Maka beliau bersabda :
"Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan
baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan
amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya
untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara." Kemudian beliau membaca :
"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah." (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari
dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir
amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas. Demikian
pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
"Sesungguhnya hanyalah
amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya)." (HR. Bukhari 11/330 -Fathul
Bari)
Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa
menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam
'Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah
hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga
oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal
daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak
manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan
kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah
rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan
datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang
sengsara. Naudzubillah!
Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan
kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita
semua.
Wallahu A'lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur'anul
Karim.
2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
3. Ad
Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma'tsur. Imam As Suyuthi.
4. Ahkamuth Thifli.
Asy Syaikh Ahmad Al 'Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.
6. 'Aunul
Ma'bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu
Bakar Jabir Al Jazairi.
8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al
Atsqalani.
9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Syaikh
Abi Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali.
10. Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Al Hafidh
Ibnu Rajab Al Hanbali.
11. Jami' Al Bayan fi Ta'wil Al Qur'an. Ibnu Jarir Ath
Thabari.
12. Mu'jam Mufradat Alfadzil Qur'an. Al 'Allamah Al
Ashfahani.
13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.
14. Shahih
Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
15. Shahih Sunan At
Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
16. Tafsir Ibnu Katsir. Al
Hafidh Ibnu Katsir.
17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.
Artinya :
Jejak kehidupannya.
Ma'thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna
kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak
sebelumnya.
Ma'thuf 'alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu
yang terletak sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar