tag:blogger.com,1999:blog-46203462363453244892024-02-20T14:39:25.956-08:00KAJIAN ISLAM"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [At-Taubah: 71]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-48457176308126143622012-01-26T01:42:00.000-08:002012-01-26T01:42:14.777-08:00Tauhid Rahasia Kebahagiaan Dunia dan Akhirat<br />
<center style="background-color: white; text-align: justify;">Siapa yang tidak menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kita semua tentu menginginkannya. Hanya yang perlu untuk kita pertanyakan bagaimana cara untuk meraih keduanya. Sementara, kita yakini bersama bahwa Islam adalah agama yang ajarannya universal (menyeluruh). Islam satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari Sang Pemiliknya Jalla Sya'nuhu. </center><span class="content" style="background-color: white;"><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin. Tidak didapatkan satu ajaranpun dalam Islam yang merugikan para pemeluknya, tidak ditemukan satu prinsippun dalam Islam yang mencelakakan para penganutnya. Tetapi pada kenyataannya banyak kalangan yang hanya menitikberatkan perhatiannya pada dunia dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Padahal Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS Al Hadid: 20).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS Huud: 15-16).</div>
<div style="text-align: justify;">
Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sebaik-baik petunjuk. Siapa yang mengambilnya ia akan bahagia dan yang meninggalkannya akan celaka. Allah berfirman, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (QS An Nuur: 63).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terbukti generasi yang bersamanya, yakni generasi para sahabat meraih gelar terbaik umat ini, karena mereka mengambil petunjuknya. Itulah mereka para sahabat yang telah berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak, sedang mereka mendapatkan bimbingan tauhid selama kurang lebih 13 tahun hingga akhirnya mereka memiliki landasan yang kokoh dalam kehidupannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oleh karena itu, tauhid itulah sebagai landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS Adz Dzariyaat: 56). Ibnu Katsir berkata: makna "ya'buduun" dalam ayat ini adalah "yuwahhiduun" (mentauhidkan Allah). Al Imam Al Baghowi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas RA mengatakan: "Setiap perintah beribadah dalam Al Qur'an maka maknanya adalah tauhid."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan Allah meridloi ahli tauhid. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridloi kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian." (HR Muslim dari Abu Hurairoh).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Itulah tauhid, tauhid adalah sebagai jalan untuk mendapatkan dua kebahagiaan tersebut, sebab dengan menegakkan tauhid berarti menegakkan keadilan yang paling adil. Sementara tujuan Allah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya adalah supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah berfirman, "Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyatam dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (QS Al Hadiid: 25). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tauhid sebagai landasan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat karena keamanan serta petunjuk di dunia dan akhirat hanya akan dicapai oleh para ahli tauhid. Allah berfirman, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS Al An'aam: 82). Berkata Ibnu Katsir pada ayat ini: "Yaitu mereka yang memurnikan ibadahnya untuk Allah saja dan tidak berbuat kesyirikan dengan sesuatu apapun, mereka mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan petunjuk di dunia dan akhirat." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi memang tauhidlah yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena khilafah di muka bumi serta kehidupan yang damai, aman, dan sentosa berbangsa dan benegara hanya akan diraih melalui tauhid. Allah berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridloinya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, semula mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An Nuur: 55).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ahli tauhid mereka orang-orang yang akan mendapatkan jaminan surga dari Allah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan-Nya, ia akan masuk neraka." (HR Muslim dari Jabir bin Abdillah). Ahli tauhid mereka orang-orang yang akan berbahagia dengan syafa'atnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Abu Hurairoh bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, "Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu?" Beliau menjawab, "Orang yang mengatakan 'laa ilaaha illallah' ikhlas dari lubuk hatinya." (HR Bukhori dari Abi Hurairoh). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ahli tauhid mereka orang-orang yang terjaga dan terpelihara darah dan hartanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, mereka terjaga dariku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak-hak Islam, dan perhitungannya atas Allah." (HR Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah para pembaca -kaum muslimin- tauhid adalah rahasia kebahagiaan dunia dan akhirat, karena yang pertama kali diwajibkan atas seorang hamba adalah tauhid. Allah berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Ilah yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS Al Anbiyaa: 25). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata kepada sahabat Muadz bin Jabal RA ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab. Jika Engkau mendatanginya maka serukanlah kepada mereka supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah -yang berhak untuk diibadahi- kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah..." (HR Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas RA). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam Al Hafizh Al Hakami mengatakan, "Kewajiban pertama atas hamba, mengenal Ar Rahmaan (Allah) dengan tauhid." Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematiannya Abu Tholib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam datang menemuinya dan berkata, "Wahai paman, ucapkanlah 'laa ilaaha illallah', kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah..." (HR Bukhori Muslim dari Sa'id ibnul Musayyab dari bapaknya (Musayyab)). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, "Barangsiapa yang akhir ucapannya 'laa ilaaha illallah', ia akan masuk surga." Semoga Allah memberikan taufiq kepada yang dicintai dan diridloinya. Amin ya Mujibas sailiin.</div>
</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-44746175966694595432012-01-26T01:40:00.001-08:002012-01-26T01:45:58.179-08:00CIRI-CIRI AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dapat dijelaskan sebagai berikut.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[1] Sumber pengambilannya bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah berdasarkan Kitab dan Sunnah serta Ijma' para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa nafsu dan syubhat.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[2] Ia adalah aqidah yang berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini adalah iman kepada sesuatu yang ghaib. Karena itu, beriman kepada yang ghaib merupakan sifat orang-orang mukmin yang paling agung, sehingga Allah memuji mereka : " Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib". [Al-Baqarah : 2-3]. Hal itu karena akal tidak mampu mengetahui hal yang ghaib, juga tidak dapat berdiri sendiri dalam memahami syari'at, karena akal itu lemah dan terbatas. Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan manusia itu terbatas, demikian pula dengan akalnya. Maka beriman kepada yang ghaib dan menyerah sepenuhnya kepada Allah adalah sesuatu yang niscaya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar, bebas dari syahwat dan syubhat.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[4] Sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat, tabi'in dan para imam, baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui oleh para penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tidak ada suatu prinsip pun dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang tidak memiliki dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu berbeda dengan aqidah-aqidah bid'ah lainnya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[5] Ia adalah aqidah yang mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu, masih samar-samar maupun yang sulit. Semua lafazh-lafazh dan maknanya jelas, bisa dipahami oleh orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia adalah aqidah yang berdasar kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah laksana makanan yang bermanfaat bagi segenap manusia. Bahkan seperti air yang bermanfaat bagi bayi yang menyusu, anak-anak, orang kuat maupun lemah.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[6] Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan. Betapa tidak, ia adalah bersumber kepada wahyu yang tak mungkin datang kepadanya kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran tidak mungkin kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Allah berfirman : "Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya" [An-Nisaa : 82]</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[7] Mungkin di dalamnya terdapat sesuatu yang mengandung perdebatan, tetapi tidak mungkin mengandung sesuatu yang mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, atau tidak mampu dipahami. Seperti seluruh masalah ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath, haudh (telaga), surga dan neraka, serta kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia tidak mampu memahami atau mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tidak menganggapnya mustahil. Sebaliknya ia menyerah, patuh dan tunduk kepadanya. Sebab semuanya datang dari wahyu, yang tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[8] Ia adalah aqidah yang universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat. Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[9] Ia adalah aqidah yang stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yang lainnya. Ia adalah akidah yang kekal hingga hari kiamat. Ia akan dijaga oleh Allah sepanjang generasi. Tak akan terjadi penyimpangan, penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tidak, karena Allah-lah yang menjamin penjagaan dan kekalannya. Ia tidak menyerahkan penjagaan itu kepada seorangpun dari mahluk-Nya, Alah berfirman : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan Kamilah yang akan menjaganya". [Al-Hijr : 9]</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[10] Ia adalah sebab adanya pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu karena ia adalah aqidah yang benar. Maka orang yang berpegang teguh kepadanya akan menang, berhasil dan ditolong. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran, yang tidak akan membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian". [Hadits Riwayat Muslim 3/1524]. Maka barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakannya dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam menjauhi agamanya, terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang menimpa Andalusia (Spanyol) dan yang lain.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[11] Ia mengangkat derajat para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta mendakwahkannya kepada manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, meluaskan kemasyhuranya serta keutamaannya akan tersebar, baik sebagai pribadi maupun jama'ah. Hal itu karena akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah akidah terbaik yang sesuai dengan segenap hati dan sebaik-baik yang diketahui akal. Ia menghasilkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang tinggi.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat. Sebaliknya barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam dan binasa.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat Islam itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebaliknya, mereka akan berpecah belah dan saling berselisih pendapat jika menjauh darinya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[14] Aqidah Ahlus Suannah wal Jama'ah adalah aqidah istimewa. Para pengikutnya adalah orang-orang istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuannya jelas.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[15] Ia menjaga para pengikutnya dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tidak berubah. Karena itu para pengikutnya selamat dari mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa petunjuk dalam soal wala' wal bara' (setia dan berlepas diri dari orang lain), kecintaan dan kebencian kepada orang lain. Sebaliknya, ia memberikan ukuran yang jelas, sehingga tidak akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kepada siapa harus membenci, dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[16] Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dengan Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pembuat Syari'at. Maka hatinya akan merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan pikirannya akan jernih dengan mengetahui-Nya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[17] Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam beribadah. Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada selain-Nya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[18] Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua'malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[19] Ia mendorong setiap pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[20] Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat, karena itu mereka mengagungkan dan berpegang teguh pada keduanya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[21] Ia menjamin kehidupan yang mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan terwujud keamanan dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kepada Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, dan tidak kepada yang lain. Dan hal itu -dengan tidak diragukan lagi- menjadi sebab keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Keamanan adalah sesuatu yang mengiringi iman. Maka, barangsiapa kehilangan iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Al-An'am : 82]. Jadi orang-orang yang bertakwa dan beriman adalah mereka yang memiliki kemanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik dan pelaku maksiat adalah orang-orang yang selalu ketakutan. Mereka senantiasa diancam dengan berbagai siksaan di setiap saat.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[22] Aqidah ini menghimpun semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[23] Mengakui akal, tetapi membatasi perannya. Ia adalah aqidah yang menghormati akal yang lurus dan tidak mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tidak rela jika seorang muslim memadamkan cahaya akalnya, lalu hanya bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan lainnya. Meskipun begitu, peran akal tetaplah terbatas.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[24] Mengakui perasaan manusia dan membimbingnya pada jalan yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yang tidak memilikinya. Aqidah ini adalah aqidah yang dinamis, tidak kaku dan beku, ia mengaku adanya perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi bukan berarti ia mengumbarnya. Sebaliknya ia meluruskan dan membimbingnya sehingga menjadi sarana perbaikan dan pembangunan, tidak sebagai alat perusak dan penghancur.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">[25] Ia menjamin untuk memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan atau persoalan lainnya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br style="font-size: 16px;" /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 16px;">Dengan aqidah ini, Allah telah menyatukan hati umat Islam yang berpecah belah, hawa nafsu yang bercerai berai, mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka keamanan dari ketakutan.</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-22818763182467009762012-01-26T01:38:00.001-08:002012-01-26T01:38:38.368-08:00Bunga Rampai Nasihat<br />
Mudah-mudahan Allah yang Maha Menguasai segala-galanya selalu membukakan hati kita agar bisa melihat hikmah dibalik setiap kejadian apapun yang terjadi. Yakinlah tidak ada satu kejadian pun yang sia-sia, tidak ada suatu kejadian pun yang tanpa makna, sangat rugi kalau kita menghadapi hidup ini sampai tidak mendapat pelajaran dari apa yang sedang kita jalani. Hidup ini adalah samudera hikmah tiada terputus. Seharusnya apapun yang kita hadapi, efektif bisa menambah ilmu, wawasan, khususnya lagi bisa menambah kematangan, kedewasaan, kearifan diri kita sehingga kalau kita mati besok lusa atau kapan saja, maka warisan terbesar kita adalah kehormatan pribadi kita, bukan hanya harta semata. Rindukanlah dan selalu berharap agar saat kepulangan kita nanti, saat kematian kita adalah saat yang paling indah.<br />
<br />
Harusnya saat malaikat maut menjemput, kita benar-benar dalam keadaan siap, benar-benar dalam keadaan khusnul khatimah. Harus sering dibayangkan kalau saat meninggal nanti kita sedang bagus niat, sedang bersih hati, keringat sedang bercucuran di jalan Allah SWT. Syukur-syukur kalau nanti kita meninggal, kita sedang bersujud atau sedang berjuang di jalan Allah. Jangan sampai kita mati sia-sia, seperti yang diberitakan koran-koran tentang seorang yang meninggal sedang nonton di bioskop. Terang saja buruk sekali orang yang meninggal di bioskop, apalagi misalnya film yang ditontonnya film (maaf) “Gairah Membara”, film maksiat, na’udzubillah. Dia akan “membara” betulan di neraka nanti. Ingat maut adalah hal yang sangat penting.<br />
<br />
Tiada kehormatan dan kemuliaan kecuali dari Engkau wahai Allah pemilik alam semesta, yang mengangkat derajat siapa pun yang Engkau kehendaki dan menghinakan siapa pun yang Engkau kehendaki, segala puji hanyalah bagi-Mu dan milik-Mu. Shalawat semoga senantiasa terlimpah bagi kekasih Allah, panutan kita semua Rasulullah SAW.<br />
<br />
Sahabat, percayalah sehebat apapun harta, gelar, pangkat, kedudukan, atau atribut duniawi lainnya tak akan pernah berharga jikalau kita tidak memiliki harga diri. Apalah artinya harta, gelar, dan pangkat, kalau pemiliknya tidak punya harga diri.<br />
<br />
Hidup di dunia hanya satu kali dan sebentar saja. Kita harus bersungguh-sungguh meniti karier kehidupan kita ini menjadi orang yang memiliki harga diri dan terhormat dalam pandangan Allah SWT juga terhormat dalam pandangan orang-orang beriman. Dan kematian kita pun harus kita rindukan menjadi sebaik-baik kematian yang penuh kehormatan dan kemuliaan dengan warisan terpenting kehidupan kita adalah nama baik dan kehormatan kita yang tanpa cela, kehinaan.<br />
<br />
Langkah awal yang harus kita bangun dalam karier kehidupan ini adalah tekad untuk menjadi seorang muslim yang sangat jujur dan terpercaya sampai mati. Seperti halnya Rasulullah SAW memulai karier kehidupannya dengan gelar kehormatan Al Amin (seorang yang sangat terpercaya).<br />
<br />
Kita harus berjuang mati-matian untuk memelihara harga diri kehormatan kita menjadi seorang muslim yang terpercaya, sehingga tidak ada keraguan sama sekali bagi siapapun yang bergaul dengan kita, baik muslim maupun non muslim, baik kawan atau lawan, tidak boleh ada keraguan terhadap ucapan, janji, maupun amanah yang kita pikul.<br />
<br />
Oleh karena itu, pertama, jaga lisan kita. Jangan pernah berbohong dalam hal apapun. Sekecil dan sesederhana apapun, bahkan betapa pun terhadap anak kecil atau dalam senda gurau sekalipun. Harus benar-benar bersih dan meyakinkan, tidak ada dusta, pastikan tidak pernah ada dusta! Lebih baik kita disisihkan karena kita tampil apa adanya, daripada kita diterima karena berdusta. Sungguh tidak akan pernah bahagia dan terhormat menjadi seorang pendusta. (Tentu saja bukan berarti harus membeberkan aib-aib diri yang telah ditutupi Allah, ada kekuasaan tersendiri, ada kekhususan tersendiri. Jujur bukan berarti bebas membeberkan aib sendiri).<br />
<br />
Kedua, jaga lisan, jangan pernah menambah-nambah, mereka-reka, mendramatisir berita, informasi, atau sebaliknya meniadakan apa yang harus disampaikan. Sampaikanlah berita atau informasi yang mesti disampaikan seakurat mungkin sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kita terkadang suka ingin menambah-nambah sesuatu atau bahkan merekayasa kata-kata atau cerita. Jangan lakukan! Sama sekali tidak akan menolong kita, nanti ketika orang tahu informasi yang sebenarnya, akan runtuhlah kepercayaan mereka kepada kita.<br />
<br />
Ketiga, jangan sok tahu atau sok pintar dengan menjawab setiap dan segala pertanyaan. Nah, orang yang selalu menjawab setiap pertanyaan bila tanpa ilmu akan menunjukkan kebodohan saja. Yakinlah kalau kita sok tahu tanpa ilmu itulah tanda kebodohan kita. Yang lebih baik adalah kita harus berani mengatakan “tidak tahu” kalau memang kita tidak mengetahuinya, atau jauh lebih baik disebut bodoh karena jujur apa adanya, daripada kita berdusta dalam pandangan Allah.<br />
<br />
Keempat, jangan pernah membocorkan rahasia atau amanat, terlebih lagi membeberkan aib orang lain. Jangan sekali-kali melakukannya. Ingat setiap kali kita ngobrol dengan orang lain, maka obrolan itu jadi amanah buat kita. Bagi orang yang suka membocorkan rahasia akan jatuhlah harga dirinya. Padahal justru kita harus jadi kuburan bagi rahasia dan aib orang lain. Yang namanya kuburan tidak usah digali-gali lagi kecuali pembeberan yang sah menurut syariat dan membawa kebaikan bagi semua pihak. Ingat, bila ada seseorang datang dengan menceritakan aib dan kejelekan orang lain kepada kita, maka jangan pernah percayai dia, karena ketika berpisah dengan kita, maka dia pun akan menceritakan aib dan kejelekan kita kepada yang lain lagi.<br />
<br />
Kelima, jangan pernah mengingkari janji dan jangan mudah mengobral janji. Pastikan setiap janji tercatat dengan baik dan selalu ada saksi untuk mengingatkan dan berjuanglah sekuat tenaga dan semaksimal mungkin untuk menepati janji walaupun dengan pengorbanan lahir batin yang sangat besar dan berat. Ingat, semua pengorbanan menjadi sangat kecil dibandingkan dengan kehilangan harga diri sebagai seorang pengingkar janji, seorang munafik, na’udzubillah. Tidak artinya. Semua pengorbanan itu kecil dibanding jika kita bernama si pengingkar janji. Rasulullah SAW pernah sampai tiga hari menunggu orang yang menjanjikannya untuk bertemu, beliau menunggu karena kehormatan bagi beliau adalah menepati janji.<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-67868968525173993572011-12-29T02:09:00.000-08:002011-12-29T02:09:51.840-08:00Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama<strong><span class="print-title"></span></strong><span class="print-sub"></span>Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja.
Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak
bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting,
tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang! <br />
<br />
<span class="print-normal">Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk
mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya
sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih
pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan
dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada
yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang
berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke
masjid. <br /><br />Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih
begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan
sepertinya makin bertambah parah. <br />Adakah yang salah dari tindakan mereka?
Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti
ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari
agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang
berujung kesia-siaan? <br /><br />Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi
selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat
kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah
keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi . Lebih-lebih dalam mengambil
dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada
kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat. <br /><br />Berikut kami
akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami
hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan.
Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada
terbatas. <br /><br />Makna Manhaj <br /><br />Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah
jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah: <br /><br />“Dan kami
jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)
<br /><br />Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut
diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang
sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir
menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith). <br /><br />Yang
diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh
Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita
akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu
agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:
<br /><br />1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As
Sunnah. Allah berfirman: <br />“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari
Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali
kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3) <br />Dan Rasulullah
bersabda: <br />“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa
dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di
Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643) <br /><br />2. Memahami Al Qur’an dan As
Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang
mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda
Nabi : <br />“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka
kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim) <br /><br />Kebaikan
yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan
dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah. <br /><br />Ibnul Qayyim
berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara
mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu
kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka
mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf:
62) <br />Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh
Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama
mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah
Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di
saat apa Nabi mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat
mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa
ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi
mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari
perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka
dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka. <br /><br />Imam
Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu,
ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu
atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat
kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika
mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka
memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil
pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian
pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara
keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil
Hadits: 78]. <br /><br />Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu
empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa
dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya,
ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya
dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan
mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa
dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil
Hadits: 31) <br /><br />Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang
dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan
oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan
sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau
tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291) <br /><br />Hal itu -wallahu
a’lam- karena Nabi bersabda: <br />“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk
berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan
Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani
dalam Silsilah As- Shahihah:1331] <br />Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara
agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika
demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti
kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh
keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka
dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas. <br /><br />3.
Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:
<br />“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(darinya).” (Al-A’raf: 3) <br /><br />“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
<br /><br />Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang
diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang
tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i
mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya
Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang,
siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50) <br /><br />Demikian pula kebenaran itu tidak
terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka,
masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari
mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari
ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak
mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu
terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika
seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al
Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang
setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam
itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah:
3/412 dari Al Iqna’: 95). <br /><br />Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab
akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai
ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi
madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni
diarahkan kepada makna yang lain).” <br /><br />Akhirnya madzhablah yang menjadi
ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat
kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang
sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan
ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih
madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka
menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka
sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat
Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab) <br /><br />4. Waspada dari
para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus
adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang
menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara
ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu
jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka
maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:
<br />“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka
mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan
dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7) <br /><br />Ibnu Katsir mengatakan:
“Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan
mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah
mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya
artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir
Ibnu Katsir: 1/353] <br /><br />5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada
Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena
urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau
asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini
akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan
ia ambil ilmu agamanya. <br /><br />Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang
memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar
akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang
salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama
Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah
karena hal tersebut. <br /><br />Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin
mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian
mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya
tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala
terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga
mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat
kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah
Shahih-nya) <br /><br />Nabi bersabda: <br />“Keberkahan itu berada pada orang-orang
besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu
Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As
Shahihah:1778) <br /><br />Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud: <br />“Manusia tetap akan
baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka
mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan
binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin
Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616,
tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya) <br /><br />Ibnu Abdil Bar menukilkan
dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang
dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang
semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan
orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil
ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617). <br /><br />6. Tidak
mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan
bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya: <br />“Katakanlah (Ya,
Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.”
(Al-Anbiya: 45) <br />“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (An-Najm: 3-4) <br /><br />Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber
dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki
kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan
yang dihasilkannya pun lemah. <br /><br />Jadi tidak boleh bagi siapapun
meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena
tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan
keduanya. <br /><br />Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal
maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit)
lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan
sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu
Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).
<br />Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian
atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu
mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih.
Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya,
bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah
bagian bawahnya karena itulah yang kotor. <br /><br />Ini menunjukkan bahwa agama
ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang
sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami
hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari
pertimbangan lain yang belum kita mengerti. <br /><br />Jangan sampai
ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al
Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya.
Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas. <br /><br />Abul
Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para
pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka,
mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak,
mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan
keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal
itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan
keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh
salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan
kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar
kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99) <br /><br />Ibnul Qoyyim
menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam: <br />a.
Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah. <br />b. Berbicara
masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap
menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
<br />c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan
perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut
filsafat. <br />d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya
Sunnah. <br />e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik
dan prasangka. <br />Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang
sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam
Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)
<br /><br />7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi bersabda: <br />“Tidaklah
sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan
diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka
adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah
Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)
<br /><br />Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam
salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan
haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari
Al-Intishar: 94). <br /><br />Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’
(berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang
kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan
membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian
ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak
agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313) <br /><br />Oleh karenanya Allah
memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya: <br />“Ajaklah kepada
jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah
dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125). <br /><br />Para ulama menerangkan bahwa
perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah
pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai
kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan
memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu
muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima
kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif
Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62). <br /><br />Perdebatan
para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat.
Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan
tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172) <br /><br />Inilah beberapa
rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an
maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi
titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa
beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. </span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-29395540370140617612011-12-29T02:03:00.000-08:002011-12-29T02:03:05.661-08:00Beberapa Perkara Pembatal Amal<strong><span class="print-title"></span></strong><span class="print-sub"></span>Alhamdulillah shalawat dan salam semoga tercurah atas
Nabi-Nya dan hamba-Nya yang tidak ada nabi setelahnya, juga kepada keluarga dan
sahabatnya. amma ba'du<br />
<span class="print-normal"><br />Sesungguhnya kebahagiaan abadi adalah di surga
yang luasnya seluas langit dan bumi, yang tidak akan didapatkan oleh seorang
hamba kecuali dengan menjauhi perangi yang dianggap baik oleh sebuah jiwa akan
tetapi akan menggugurkan pahala dan amalannya, Akan tetapi wahai hamba Allah,
engkau berada di atas suatu ilmu yang terkumpul untuk mu di lembaran ini yang
dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan As-Sunnah sahihah
:<br /><br />Alhamdulillah shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi-Nya dan
hamba-Nya yang tidak ada nabi setelahnya, juga kepada keluarga dan sahabatnya.
amma ba'du<br /><br />Sesungguhnya kebahagiaan abadi adalah di surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang tidak akan didapatkan oleh seorang hamba kecuali
dengan menjauhi perangi yang dianggap baik oleh sebuah jiwa akan tetapi akan
menggugurkan pahala dan amalannya, Akan tetapi wahai hamba Allah, engkau berada
di atas suatu ilmu yang terkumpul untuk mu di lembaran ini yang dilengkapi
dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan As-Sunnah sahihah :<br /><br /><br />1. Kufur dan
syirik<br />Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala "Dan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan perjumpaan di hari akhirat, maka gugurlah
amalan-amalan mereka, dan tidaklah mereka diberi balasan kecuali dengan apa yang
telah mereka perbuat (al a'raf:174) dan juga firman-Nya " dan telah diwahyukan
kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, jika kamu berbuat syirik, niscaya
gugurlah amalan-amalanmu dan tentulah kamu menjadi orang yang merugi " (az
zumar: 65)<br /><br />2. Murtad<br />Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : "
Barangsiapa yang murtad diantara kalian dari agamanya kemudian mati dakan
keadaan kafir, mereka itulah yang gugur amalan-amalannya di dunia dan akhirat,
dan mereka adalah penghuni neraka serta kekal di dalamnya." (Al Baqarah :
217)<br /><br />3. Nifaq dan Riya'<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa
Sallam" sesungguhnya dari yang saya takutkan terhadapmu adalah syirik kecil,
yaitu riya” . Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman (dalam sebuah hadits qudsi)
pada hari kiamat, “Jika Allah memberi balasan kepada manusia dari amalan-amalan.
Maka pergilah kalian kepada amalan yang kamu berbuat ria di dunia, maka lihatlah
apakah kalian mendapatkan padanya pahala" (dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan al
Baghawi dari hadits Mahmud bin Labid dengan sanad shahih menurut syarat
muslim)<br /><br />5. Mengungkit-ngungkit pemberian<br />Berdasarkan firman Allah
Subhanahu Wa Ta'ala " Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian gugurkan
pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebut (pemberian) dan menyakiti (hati
penerima) (Al Baqarah : 264). Dan dari Abu Umamah Radiyallahu 'anhu berkata Nabi
shalallahu 'alahi wasallam bersabda: " Tiga perkara yang Allah tidak akan terima
penolakan dan penebusan yaitu orng yang durhaka kepada orang tua,
pengungkit-ngungkit pemberian dan orang yang mendustakan takdir (dikeluarkan
oleh Ibnu Abi Ashim dan Thabrany dengan sanad hasan)<br /><br />6. Mendustakan
Takdir<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam "Kalau seandainya
Allah mengadzab penduduk langit dan bumi niscaya dia akan mengadzabnya sedang
Dia tidak sedikitpun berbuat dzalim terhadap mereka, dan seandainya Dia
merahmati mereka niscaya rahmat-Nya lebih baik dari amalan-amalan mereka.
Seandainya seseorang menginfaqkan emas di jalan Allah sebesar Gunung Uhud,
tidaklah Allah akan menerima infaq tersebut darimu sampai engkau beriman dengan
takdir, dan ketahuilah bahwa apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan
menyelisihimu, sedang apa yang (ditakdirkan) tidak menimpamu maka tida akan
menimpamu, kalau seandainya engkau mati dalam keadaab mengimanai selalin ini
(tidak beriman dengan takdir), niscaya engkau masuk neraka (Dikeluarkan oleh Abu
Dawud dan Ibnu Majah dan Ahmad, hadits ini shahih)<br /><br />7. Meninggalkan shalat
Ashr<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam : “Orang yang
meluputkan dari shalat ashar maka seolah-olah dia kehilangan keluarga dan
hartanya (yakni tinggal sendirian tanpa harta dan keluarga), (Dari hadits Ibnu
Umar, mutafaq 'alaihi), dan juga sabda beliau "Barangsiapa meninggalkan shalat
ashr maka sungguh gugurlah amalannya (Bukhari dari hadits Buraidah)<br /><br />8. At
Ta'ly atas Allah Subhanah<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam
" Sesungguhnya seseorang yang berkata, Allah tidak akan mengampuni terhadap si
fulan, maka Allah berkata, Barangsiapa beranggapan atas-Ku bahwa Aku tidak akan
mengampuni si fulan, maka sungguh Aku telah mengampuni si fulan, dan engkau
telah menggugurkan amalanmu, atau sebagaimana beliau katakan (dikelurkan oleh
Muslim dari hadtis Jundub bin Abdullah Radhiyallu anhu) At Ta'ly atas Allah
yaitu : berkata tentang Allah tanpa ilmu, menyepelekan luasnya rahmat Allah dan
bersumpah bahwa Allah tidak akan mengampuni terhadap seseorang. <br /><br />9.
Menyelisihi Rasul shalallahu 'alahihi wasallam -baik ucapan maupun
amalan<br />Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : " Hai orang-orang yang
beriman janganlah kalian angkat suara-suaramu diatas suara Nabi dan jangan
kalian mengeraskan suara kepadanya layaknya seorang diantara kalian terhadap
yang lainnya, sehingga akan gugurlah amalan-amalan kalian dalam keadaan kalian
tidak menyadari" (Al Ahzab : 2). Dan firman-Nya : " Hai orang-orang beriman
taatlah Allah dan Rasul-Nya dan jangan kalian gugurkan amalan-amalan kalian
(Muhammad: 33)<br /><br />10. Berbuat bid'ah dalam agama<br />Berdasarkan sabda Nabi
Shalallahu Alaihi Wa Sallam " Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan
kami ini, sesuatu yang tidak ada petunjuk agama padanya, maka itu tertolak
(Mutafaq 'alaih dari hadtis Aisyah radhiyallahu 'anha) dalam riwayat Muslim
disebutkan " Barangsiapa beramal dengan amalan yang bukan perintah kami maka itu
tertolak "<br /><br />11. Melanggar Ketentuan-ketentuan Allah di waktu
sepi<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam " Sungguh aku
mengetahui sebuah kaum dari umatku, mereka datang pada hari kiamat dengan
kebaikan semisal gunung ................... putih, kemudian Allah jadikan
seperti halnya debu yang berterbangan", berkata Tsauban, " Wahai Rasulullah,
sifatkanlah tentang keadaan mereka kepada kami, dan supaya kami tidak termasuk
dari mereka, dan sedang kami da;a, keadaan tidak memengetahui", Beliau bersabda
"Adapun mereka itu dari saudara kalian seagama, dan dari bangsa kalian, mereka
mengambil bagian dari waktu malam sebagaimana juga kalian mengambilnya, akan
tetapi mereka itu adalah sebuah kaum yang jika melewati larangan Allah mereka
melanggarnya (Dikeluarkan oleh ibnu MAjah dari hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu
dan dishahihkan oleh al Mundziri dan Al Baushiri)<br /><br />12. Gembira dan Bahagia
dengan terbunuhnya seorang mukmin<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa
Sallam " Barangsiapa membunuh seorang mukmin dan berharap akan terbunuhnya maka
Allah tidak akan menerima darinya penolakan (adzab) ataupun penebusan.
(dikelurkan oleh Abu Dawud dari hadits Ubadah bin shamit, hadits ini
shahih).<br /><br />13. Menetap di negeri-negeri kafir<br />Berdasarkan sabda Nabi
Shalallahu Alaihi Wa Sallam : " Allah Azza wajalla tidak akan menerima amalan
dari seorang musyrik yang masuk islam sampai memisahkan musyrikin kepada
muslimin” (Dikelurkan oleh Nasai dan Ahmad dari Hadits Mu'awiya bin Hayidah
radhiyallahu 'anhu dengan sanad hasan)<br /><br />14 Mendatangi dukun dan tukang
ramal<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam : " Barangsiapa
mendatangi tukang ramal kemudian menanyakan tentang sesuatu, maka tidak diterima
darinya shalat selama 40 hari (dikeluarkan oleh Muslim) dan sabdanya "
Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan apa yang
dikatakan maka sungguh telah kafir kepada yang diturukan kepada Muhammad (Al
Qur'an), (dikelurkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad, dari hadits Abu
Hurairah, sahih)<br /><br />15. Durhaka kepada kedua orang tua<br />Berdasarkan sabda
Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam " Tiga golongan yang Allah tidak akan terima
dari mereka penolakan atau penebusan yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang
tua, pengungkit pemberian, dan pendusta takdir” (telah berlalu takhrijnya
dipoint no.5)<br /><br />16. Pecandu Khamar<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu
Alaihi Wa Sallam " Barangsiapa meminum khamar Allah tidak akan terima darinya
shalat empat puluh hari, apabila dia taubat, maka Allah terima taubatnya,
apabila dia kembali berbuat maka Allah tidak akan terima lagi shalatnya selama
40 hari, dan apabila dia taubat maka Allah tidak akan terima taubatnya, dan
Allah akan memberinya minum dari sungai Khibal", dikatakan kepadanya "wahai Abu
Abdiraman , apa sungai khibal tersebut, dia berkata : yaitu sungai dari nanah
penduduk neraka (dikeluarkan oleh Tirmidzi dari hadits Abdullah bin Umar, dan
dia shahih), dan sabda Beliau Shalallahu Alaihi Wa Sallam "Pecandu khamr, jika
mati maka akan menemui Allah seperti penyembah berhala (dikeluarkan oleh Ahmad
dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Abbas, dan baginya ada syahid (penguat) dari
hadits Abu Hurairah dikeluarkan oleh Ibnu Majah, secara keseluruhannya
derajatnya hasan)<br />Berkata Ibnu Hiban : Serupa makna khabar ini dengan "
Barangsiapa bertemu Allah dari pecandu khamr dengan anggapan halal meminumnya,
seperti penyembah berhala, karena kesamaan keduanya dalam kekufuran.<br /><br />17.
Berkata dusta dan beramal dengannya<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi
Wa Sallam "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal
dengannya maka tidak ada kepentingan bagi Allah seseorang meninggalkan makan dan
minumnya " (dikeluarkan oleh Bukhari)<br /><br />18 Memelihara anjing kecuali anjing
yang dididik untuk pertanian atau berburu<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu
Alaihi Wa Sallam " Barangsiapa memelihara anjing, maka akan berkurang amalannya
setiap hari sebear satu qiroth (dalam riwayat lain dua qiroth), kecuali anjing
untuk menjaga kebun atau anjing penjaga ternak (mutafaq alaihi, dan riwayat
kedua dari muslim)<br /><br />19. Budak yang lari dari Tuannya, tanpa karena takut
atau keletihan dalam pekerjaan, sampai dia kembali kepada tuannya <br /><br />20.
Istri yang durhaka sampai kembali taat terhadap suaminya <br /><br />Berkata Nabi
Shalallahu Alaihi Wa Sallam " Dua golongan yang sungguh sangat merugi yaitu
seorang hamba yang lari dari tuannya sampai kembali kepada mereka dan seorang
istri yang maksiat terhadap suaminya sampai dia kembali kepadanya (dikeluarkan
oleh Hakim dan Thabrany dalam as shaghir, shahih)<br /><br />21. Pemimpin Yang
dibenci Kaumnya<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam " Tiga
golongan yang sangat merugi yaitu seorang budak yang lari dari tuannya sampai
dia kembali, seorang wanita yang bermalam dengan suaminya dalam keadaan (suami)
murka padanya, dan seorang pemimpin yang dibenci kaumnya” (Dikeluarkan dan
dihasankan oleh Tirmidzi) Berkata Tirmidzi : " Sekelompok orang dari ahli ilmu
membenci seseorang untuk memimpin sebuah kaum, yang mereka benci padanya.
Apabila imam itu tidak dzalim, maka sesungguhnya dosa itu atas yang membencinya.
Dinukilkan dari Manshur: Kami bertanya tentang perkara imam, maka dikatakan
kepada kami: Pemimpin-pemimpin yang dzalim itu sangat menyusahkan, dan adapun
yang menegakkan sunnah maka sesungguhnya dosa bagi siapa yang
membencinya.”<br /><br />22. Seorang muslim memboikot saudaranya muslim tanpa udzur
syar'ie<br />Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam " Dibukakan
pintu-pintu surga pada hari Senin dan Kamis dan diampunkan bagi setiap hamba
yang tidak mensekutukan Allah dengan sesuatupun kecuali seseorang yang antara
dia dan saudaranya ada kebencian” Beliau berkata, " perhatikanlah keduanya oleh
kalian sampai mereka kembali rukun, perhatikanlah keduanya oleh kalian sampai
mereka kembali rukun, perhatikanlah keduanya oleh kalian sampai mereka kembali
rukun.” (Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah)<br /><br />Wakhai saudara
seislam, ini adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan amalan-amalan,
berada di depanmmu. Dan bahayanya terhadap agamamu sangat jelas, maka jauhilah
perkara tersebut dan berhati-hatilah darinya, dan hendaklah hatimu tetap
berharap kepada sesuatu yang memberi manfaat kepadamu di dunia dan akhirat,
karena setaip hati butuh kepada tarbiyah supaya suci dan terus bertambah suci
hingga sampai usia lanjut sempurnalah dan baiklah ia.<br /><br />Ya Allah yang
membolak-balikan hati tetapkanlah hati-hati kami atas agama-Mu, dan janganlah
Engkau palingkan kami meskipun hanya sekejap saja.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-12700807456722013052011-12-29T02:01:00.001-08:002011-12-29T02:01:43.839-08:00Termasuk Syirik Memakai Cincin dan Benang dan Semisal Keduanya untuk Menghilangkan dan Menolak Bala<strong><span class="print-title"></span></strong><span class="print-sub"></span>Seringkali kita saksikan orang-orang yang memakai
cincin atau benang yang diikatkan pada badannya atau semisal keduanya serta
meyakini hal itu dapat mencegah datangnya mara bahaya, bahkan kalau itu dilepas
ia merasa was-was dan tidak aman.<br />
<span class="print-normal">Seringkali kita saksikan orang-orang yang
memakai cincin atau benang yang diikatkan pada badannya atau semisal keduanya
serta meyakini hal itu dapat mencegah datangnya mara bahaya, bahkan kalau itu
dilepas ia merasa was-was dan tidak aman.<br /><br />Padahal kita ketahui bahwa
menghilangkan madharat dan mendatangkan manfaat adalah kekhususan bagi Allah,
sebagaimana firman-Nya : <br /><br />"Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat menahan Rahmat-Nya? Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah
bertawakal orang-orang yang berserah diri’ ". (Az-Zumar:38) <br /><br />Pada ayat
ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam agar
mengingkari peribadahan kaum musyrikin kepada berhala-berhala lemah itu yang
tidak mampu menghilangkan kemudharatan yang telah datang pada seseorang dan
tidak pula dapat menahan kenikmatan yang telah turun pada seseorang. Kemudian
Allah memerintahkan nabi-Nya agar menyerahkan urusannya kepada Allah, Dia yang
akan mencukupinya dengan mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, dan cukup
pula bagi Allah bagi orang-orang yang bersabar diri pada Allah. Dalam ayat ini
pula mengandung kewajiban bertawakal pada Allah, dan tidak menafikan adanya
pencarian sebab-sebab yang disyariatkan. Setiap hamba wajib mengenal tiga
perkara dalam hukum-hukum asbab, yaitu: <br /><br />1. Hanya menjadikan sesuatu yang
telah pasti secara syariat & kemampuan. <br /><br />2. Tidak bersandar pada
sebab tetapi pada yang menurunkan sebab dan menguasai disertai usaha
melaksanakan sebab yang disyariatkan dan berambisi mengambil manfaat dari sebab
itu. <br /><br />3. Mengetahui bahwa betapapun besar dan kuat sebab itu tetap
bargantung pada ketentuan dan takdir. <br /><br />Adapun memakai cincin atau benang
dan semisalnya dengan tujuan menghilangkan bala atau mencegahnya termasuk syirik
akbar karena ia meyakini itulah yang dapat menolak dan menghilangkan bala.
Sedangkan bila ia meyakini Allah saja yang dapat menolak dan menghilangkan bala
tapi ia meyakini itu sebagai sebab tertolak-nya bala maka ia telah menjadikan
sesuatu yang tidak tetap menurut syariat dan secara takdir sebagai sebab, ini
berarti haram, berdusta atas nama syariat dan takdir serta termasuk dalam syirik
asghar yang merupakan dosa besar yang paling besar. Secara syariat perbuatan itu
bukan sebab yang disyariatkan melalui lisan nabi-Nya yang dapat menyampaikan
pada keridhaan dan pahala Allah . Secara qadriah pun bukan termasuk sebab yang
telah diketahui dan teruji manfaatnya sebagaimana obat-obatan yang dibolehkan.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ia melihat laki-laki
ditangannya ada benang untuk mengobati sakit panas maka ia putuskan benang itu
seraya membaca firman Allah Taala : <br /><br />"Dan sebagian besar dari mereka itu
beriman pada Allah, hanya saja merekapun berbuat syirik kepada-Nya ".
(Yusuf:106) <br /><br />Ayat ini menerangkan bahwa kebanyakan manusia beriman pada
Allah tapi mencampurkan keimanannya dengan kesyirikan. Wallahualam.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-51510792880974245682011-12-29T02:00:00.000-08:002011-12-29T02:00:11.017-08:00Syarat-syarat Tauhid kepada Allah Ta'ala<strong></strong>Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung.
Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api
neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa
yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah
(penghuni surga<br />
<span class="print-normal">Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung.
Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api
neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa
yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah
(penghuni surga).<br /><br />Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid
(Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa
gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk
membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا
الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga,
sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa
makna.<br /><br />Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan
surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:</span><br />
<span class="print-normal"><br />مَنْ
شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)<br />Barang siapa yang bersaksi
bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari
Muslim)<br /><br />Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian
lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan,
ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan
amalan.<br /><br />Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu
persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi
tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah
pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima
persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan
perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika
ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).<br /><br />Apalagi masalah ilmu dan
pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman
Allah:</span><br />
<span class="print-normal"><br />فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]<br />Maka
ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah </span><br />
<span class="print-normal"><br />إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف:
86]<br /><br />Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka
meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)<br /><br />Oleh karena itu sebatas mengucapkannya
tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan
terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda
kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan
hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut
kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal.
52).<br /><br />Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya
keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan
persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam
persaksiannya berarti dia munafiq.<br /><br />Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا
الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus
syarat-syarat. <br /><br />Syarat pertama: Ilmu<br />yaitu pengetahuan terhadap makna
syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman
Allah ta’ala:</span><br />
<span class="print-normal"><br />فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19] <br />Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi
kecuali Allah .... (Muhammad: 19)<br />dan dalam hadits disebutkan:</span><br />
<span class="print-normal"><br />مَنْ مَاتَ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن
عثمان بن عفان)<br />Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada
ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR.
Muslim)<br /><br />Syarat kedua: Yakin<br />Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap
kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika
seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap
persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:</span><br />
<span class="print-normal"><br />إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات:
15] <br />Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
... (al-Hujurat: 15)<br /><br />Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah
memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu
dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah-
sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:</span><br />
<span class="print-normal"><br />إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ
الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ
قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]<br />Sesungguhnya
yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu
bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)<br /><br />Adapun dalil dari sunnah adalah
sebagaimana disebutkan dalam hadits:</span><br />
<span class="print-normal"><br />مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ
فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)<br />Barangsiapa yang
menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan
yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka
berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu
Hurairah)<br /><br />Syarat ketiga: Menerima<br />Yaitu menerima segala
konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan
lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi
kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.<br />Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:</span><br />
<span class="print-normal"><br />إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا
ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]<br />Sesungguhnya mereka dahulu
apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang
berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata:
"Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena
seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)<br /><br />Adapun dalil dari hadits
adalah:</span><br />
<span class="print-normal"><br />فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا
بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ
رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه
البخاري)<br />Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama
Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya
maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak
mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku
diutus dengannya. (HR. Bukhari)<br /><br />Syarat keempat: Tunduk<br />yaitu tunduk
dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:</span><br />
<span class="print-normal"><br />وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ
اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]<br />Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala
urusan. (Luqman: 22)<br /><br />Syarat kelima: Jujur<br />Hal ini tidak akan terwujud
kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika
mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya
berati dia adalah munafiq, pendusta.<br />Allah berfirman:</span><br />
<span class="print-normal"><br />الم(1)أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2]
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ <br />[العنكبوت: 3]<br />Alif laam miim.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami
telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
(al-Ankabut: 1-3)<br /><br />Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :</span><br />
<span class="print-normal"><br />مَا مِنْ
أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ
صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه
البخاري)<br />Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi
bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan
mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)<br /><br />Syarat keenam:
Ikhlas<br />yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya
diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam
kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan,
kemunafiqan, riya’ dan sum’ah. <br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:</span><br />
<span class="print-normal"><br />...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]<br />…Maka
beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar:
2)</span><br />
<span class="print-normal"><br />وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ... [البينة: 5]<br />Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan)
agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)<br />dan dalam hadits:</span><br />
<span class="print-normal"><br />أَسْعَدُ النَّاسِ
بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا
مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)<br />Manusia yang paling berbahagia dengan
syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ
dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)<br /><br />Syarat ketujuh:
Kecintaan<br />yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta
terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya
dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara
yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:</span><br />
<span class="print-normal"><br />وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]<br />Dan diantara
manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)<br />dan sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alahi wassalam :</span><br />
<span class="print-normal"><br />مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ
أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه
البخاري)<br />Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan
mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya
daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya
kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk
dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).<br /><br />Syarat ke delapan:
Mengingkari Thaghut<br />yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah.
Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun
pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya:
“Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas
kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud
(sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang
menyebabkan seseorang kufur dan syirik. <br /><br />Maka pimpinan yang harus
diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka
setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha
bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:</span><br />
<span class="print-normal"><br />...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]<br />Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)<br /><br />Dan dalam
hadits:</span><br />
<span class="print-normal"><br />مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ
اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه
مسلم)<br />Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap
apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun
perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-78417300055146474752011-12-29T01:49:00.001-08:002011-12-29T01:49:50.918-08:00Mengenal Allah<strong><span class="print-title"></span></strong><span class="print-sub">Penulis: Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah
an Nawawi</span>
<br />
<hr />
<span class="print-normal">Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah.
Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah.
Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya,
ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. <br />Tak kenal maka tak
sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka
tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan
larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan
sebenarnya. <br /><br />Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan
sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang
demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta
kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? <br /><br />Kalau mengenal Allah
sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya
ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan
musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan
demikian. <br /><br />Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang
akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri,
dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk
ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan
hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa
aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala
macam problema hidup. <br /><br />Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah
tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat
kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal
Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya? <br /><br />Maka dari itu
mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat
mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal. <br /><br />Mengenal Allah
ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal
Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. <br /><br />Keempat
cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik
global maupun terperinci. <br /><br />Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29,
mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an
dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua,
melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam
firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang
dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki
akal.” (QS. Ali Imran: 190) <br /><br />Juga dalam firman-Nya yang lain:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang,
serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al
Baqarah: 164) <br /><br />Mengenal Wujud Allah. <br /><br />Yaitu beriman bahwa Allah
itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia,
dan ditetapkan pula oleh syari’at. <br /><br />Ketika seseorang melihat makhluk
ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan
menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin
ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita
melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di
dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau
Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian
pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak
dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah
mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173) <br /><br />Ayat ini merupakan dalil yang sangat
jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa
manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini
bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi
seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin hal 41-45) <br /><br />Mengenal Rububiyah Allah <br />Rububiyah Allah adalah
mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan
pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin hal 14) <br /><br />Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang
menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat
dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik
hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi
Allah. <br /><br />Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada
seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’
Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4) <br /><br />Maka ketika seseorang meyakini
bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas,
berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan
selain-Nya. <br /><br />Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah
tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan
demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini
mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa
tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui
jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka
inginkan dari sesembahan itu? <br /><br />Allah telah menceritakan di dalam Al
Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah: <br /><br />“Dan orang-orang
yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak
menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan
sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 ) <br /><br />Kedua, agar mereka memberikan
syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman: <br /><br />“Dan mereka
menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan
manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang
memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy
Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) <br /><br />Keyakinan sebagian orang
kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa
firman-Nya: <br />“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan
mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87) <br />“Dan kalau kamu
bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang
menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut:
61) <br />“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS.
Al Ankabut: 63) <br /><br />Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka
terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak
menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta
mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
<br /><br />Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum
muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara
kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak
mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan
keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus
berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan
para wali, atau di tempat-tempat keramat. <br /><br />Mereka harus pula mendatangi
para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang
paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak
dan bentuk kesyirikan kepada Allah. <br /><br />Ringkasnya, tidak ada yang bisa
memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam
marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan,
menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang
meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan
pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar
hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya. <br /><br />Mengenal
Uluhiyah Allah <br />Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan
bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih,
bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan
Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. <br /><br />Memperuntukkan satu
jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di
sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah. <br />Allah
berfirman di dalam Al Qur’an: <br />“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan
hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5) <br /><br />Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
dengan sabda beliau: <br />“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan
apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
<br /><br />Allah berfirman: <br />“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36) <br /><br />Allah
berfirman: <br />“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21) <br /><br />Dengan ayat-ayat dan
hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak
bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah
karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata. <br /><br />Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling
ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di
dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya.
Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini
dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus
menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam
hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang
melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan
membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
<br /><br />Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang
mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu
orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke
tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni
tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang
menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia
pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di
tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
<br /><br />Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah
dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”
<br /><br />Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah <br /><br />Maksudnya, kita beriman
bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah
dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang
tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya.
Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman
Allah: <br /><br />“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
<br /><br />“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
<br /><br />Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya
sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang
nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan
apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah.
Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai
dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36) <br /><br />Ketika berbicara tentang
sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah
dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu
yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
<br />“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian
berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33) <br /><br />“Dan
janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36) <br /><br />Wallahu ‘alam</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-88074888359874170242011-12-21T00:53:00.001-08:002011-12-21T00:53:56.088-08:00SHALATLAH, DIMANA DAN BAGAIMANAPUN KEADAANMU!Para pembaca yang mulia, sesungguhnya ibadah shalat bukanlah dikhususkan bagi
umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bahkan juga disyari’atkan kepada
para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Mereka pun
memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan shalat. Allah subhanahu
wata'ala berfirman (artinya):<br /><br />
“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia
menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.”
(Maryam: 54-55)<br /><br />
“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa
yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk
mengingatku.” (Thaaha: 13-14) <br /><br />
Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat
mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan
rasul.<br /><br />Kedudukan Shalat Dalam Islam<br />Setelah kita mengetahui bahwa
shalat merupakan bagian dari agama para nabi dan rasul maka bagaimanakah
kedudukan shalat itu sendiri menurut kaca mata Islam? <br />Shalat dalam agama
Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita
mencermati nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah. Di antaranya sebagai
berikut:<br />1. Mendirikan shalat adalah tanda sebenar-benarnya orang mu’min.
Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati
mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada
mereka.” (Al Anfal: 2-3)<br />2. Shalat merupakan Rukun Islam yang ke dua.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى
خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ
الْبَيْتِ<br /><br />“Islam dibangun di atas lima (rukun): Syahadat Laa Ilaaha
Illallahu Muhammadur-Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum
Ramadhan dan berhaji ke Baitullah (Makkah).” (Muttafaqun ‘Alaihi) <br />3. Shalat
merupakan tiang agama. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
<br /><br />رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ
سَنَامِهِ الجِهَادُ<br /><br />“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam,
tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi,
dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)<br />4. Shalat adalah
amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dan sebagai tolok ukur dari
seluruh amal ibadah yang lainnya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
bersabda:<br />“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika
shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka
rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh
Al Albani)<br />5. Turunnya perintah shalat tanpa melalui perantara Malaikat
Jibril, bahkan Rasulullah ? sendiri menerima langsung dari Allah subhanahu
wata'ala di atas langit yang ke tujuh.<br /><br />Shalat Perintah Agung Dari Allah
subhanahu wata'ala<br />Allah subhanahu wata'ala menyebutkan secara tegas di dalam
Al Qur’an tentang kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah subhanahu wata'ala
(artinya):<br />“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama
orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)<br />“Padahal mereka tidaklah disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah:
5)<br />Terlebih lagi perintah shalat lima waktu diwahyukan secara langsung dari
Allah ? tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihis salam. Al Imam Al
Bukhari dan Al Imam Muslim keduanya meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik
radhiallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi
wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihis salam
datang menjemput beliau shalallahu alaihi wasallam untuk menghadap Allah
subhanahu wata'ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari
keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang
langkah kakinya sejauh mata memandang.<br />Kemudian Jibril membawa beliau menuju
langit ke tujuh. Setiap kali melewati lapisan langit, Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam bertemu dengan para rasul dan nabi. Sampai akhirnya beliau ?
tiba di Sidratul Muntaha yang tidak ada satu makhlukpun yang mampu menggambarkan
keindahannya. Di tempat inilah beliau shalallahu alaihi wasallam menerima
perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’
Mi’raj.<br />Bahkan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa wasiat terakhir dari
Rasulullah ? menjelang wafatnya, beliau shalallahu alaihi wasallam berkata: “Ash
Shalatu, Ash Shalatu.” Dalam riwayat yang lain: “Bertakwalah kalian kepada Allah
dengan shalat.” (lihat Irwaul Ghalil: 7/238) <br /><br />Pelatihan Shalat Sejak
Dini<br />Allah subhanahu wata'ala memerintahkan Nabi-Nya (sekaligus untuk
umatnya) supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban shalat. Allah
subahanhu wata'ala berfirman (artinya): “Dan perintahkanlah keluargamu supaya
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …” (Thaaha:
132)<br />Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءٌ سَبْعُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءٌ عَشَرٌ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمَضَاجِعِ
<br /><br />“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat (mulai) pada usia 7 tahun,
dan pukullah mereka (yang enggan untuk shalat) setelah usia 10 tahun, dan
pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad, lihat Irwaul Ghalil
2/7)<br /><br />Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Shalat<br />Kewajiban menegakkan
shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada
rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan
tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:<br />1. Dalam keadaan
bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman
(artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)<br />2. Dalam keadaan sakit. Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ :
وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً<br /><br />“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu
berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah)
dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika
tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” ) <br />3. Dalam keadaan
bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan
bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat
dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu
zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti
menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga
diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2
rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).<br />4. Dalam keadaan lupa
atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />مَنْ
نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا
ذَكَرَهَا<br /><br />“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya
(tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun
‘alaihi)<br />5. Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau
secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci
dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata'ala
berfirman (artinya):<br />“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian
(safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar
(selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian
tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci),
(dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin
memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan
nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah:
6)<br />Meskipun ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu
maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban shalat sesuai dengan kemampuannya.
Karena Allah subhanahu wata'ala tidak memberikan beban kepada siapa pun kecuali
sesuai dengan kemampuannya.<br /><br />Ancaman Meninggalkan Shalat <br />Para pembaca
yang mulia, setelah memahami uraian di atas tentang tingginya kedudukan shalat
dalam agama dan keutamaan-keutamaan yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada
orang-orang yang memenuhi kewajiban shalat. Lalu apakah orang yang melalaikan
shalat dibiarkan begitu saja? Tentunya tidak. Allah subhanahu wata'ala dan
Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam benar-benar telah memberikan peringatan dan
ancaman kepada orang-orang yang melalaikan shalat. <br />Allah subhanahu wata'ala
telah menyediakan neraka Saqar yang dikhususkan bagi orang-orang yang
meninggalkan shalat. Sebagaimana firman-Nya (artinya):<br />“Apakah yang
memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ...” (Al Muddatstsir:
42-43)<br />Dalam hadits-hadts yang shahih, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
juga telah memberikan peringatan keras terhadap orang yang meninggalkan shalat
dengan sengaja. Diantaranya: <br />1. Hadits Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ
بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ<br /><br />”Perbedaan antara
kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang
meninggalkannya maka ia telah melakukan kekafiran.” (HR. At Tirmidzi, lihat
Shahih At Targhib no. 564) <br />2. Hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ
وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ<br /><br />“Sesungguhnya (pembeda) antara
seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim no. 82)<br />3. Hadits Tsauban radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam bersabda:<br /><br />بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ
وَالإِيْمَانِ الصَّلاَةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ<br /><br />“Pembeda
antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat, bila ia
meninggalkannya berarti ia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Ath Thabari, lihat
Shahih At Targhib no. 566)<br />4. Hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu, Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ
قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ
تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَلاَ تَشْرِبِ
الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ<br /><br />“Janganlah kamu berbuat
kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar, dan jangan pula
meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat
dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya, serta jangan pula minum khamr
(arak dan semisalnya –pent) karena sesungguhnya khamr itu pintu setiap
kejelekan.” <br />Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu: “Sungguh telah
lepas jaminan dari Allah”, sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah:
“Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”. (lihat Shahih At Targhib
no. 567. 569)<br />Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi ?,
diantaranya:<br />Umar radhiallahu anhu berkata:<br /><br />لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ
لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ <br /><br />“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam
bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355) <br />Ali bin Abi
Thalib radhiallahu anhu berkata:<br /><br />مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ
كَافِرٌ<br /><br />“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni
3/355)<br />Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata: <br /><br />مَنْ تَرَكَ
الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ<br /><br />“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka
tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)<br />Abu Darda’
radhialallahu anhu berkata:<br /><br />لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ<br /><br />“Tidak ada keimanan bagi yang tidak
shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.” (Shahih At
Targhib no. 575)<br />Wahai saudaraku yang mulia, walaupun ada sebagian para
ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
belum sampai kafir selama masih meyakini kewajiban shalat. Tapi janganlah
bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits
shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam di atas bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diancam
dengan kekufuran, tidak punya keimanan dan tidak punya bagian sedikit pun dari
Islam, kecuali bagi orang yang mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat
dihadapan Allah subhanahu wata'ala.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-11028940315955779892011-12-21T00:27:00.000-08:002011-12-21T00:27:09.691-08:00Tauhid, hak Allah Ta'ala atas segenap manusia<strong><span class="print-title"></span></strong><span class="print-sub"></span>Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh
manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah
Subhanahu wa Ta`ala berfirman :<br /><br />
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ<br />"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku" (Ad-Dzaariyaat: 56)<br /><br /><br />Sebagian ulama menafsirkan
kalimat: "supaya menyembah-Ku" dengan makna: "supaya mentauhidkan-Ku" (Lihat
Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)<br /><br />Jika
peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan
bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik.
Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang
dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta`ala
berfirman:<br /><br />
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ<br />
<br />"Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan". (Al-An`aam:88)<br /><br />وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ<br />"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar:
65)<br /><br />Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya.
Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka
lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.<br /><br />Tauhid
adalah hak Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam
semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya
terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa Ta`ala. <br /><br />Allah menciptakan
seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah
Subhanahu wa Ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya
tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun. <br /><br />Allah telah menciptakan
manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan
mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai
curahan nikmat dan karunia-Nya. <br /><br />Allah telah melimpahkan sekian
kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses
kehidupan di dalam tiga kegelapan. <br /><br />Pada fase ini tidak ada seorang pun
yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah
Subhanahu wa Ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari
Allah ta`ala. <br /><br />Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan
baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang
dan tanggung jawab. <br /><br />Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala
terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak
manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan
binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari
manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.
<br /><br />Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk
mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah
Subhanahu wa Ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya
beribadah kepada-Nya semata. <br /><br />Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai
balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita.
Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita
hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga
dan ternilai. <br /><br />Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah
tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya
yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
<br /><br />
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا
نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى<br />"Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa." (Thoha: 132)<br /><br />Ketika manusia beribadah
kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya
sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang
berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.
<br /><br />Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka
tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya. <br /><br />Manusia yang sadar
tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda
syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.
<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:<br />لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا
لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ<br />"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang
penolong pun." (Al-Maaidah: 72)<br /><br />Sementara mentauhidkan Allah dalam
beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta`ala berfirman:<br /><br />الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ<br />"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka
dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk."
(Al-An`aam: 82)<br /><br />Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan
sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rosulullah shollallahu `alaihi wa sallam dalam
hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhori)<br /><br />Sebagai penutup kami mengajak kepada
segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan
kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan
penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:<br />فَاعْبُدُوا
مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا
أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ
الْمُبِينُ<br />"Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang
yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah
yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)<br /><br />Wallohu
a`lam bish-showaab.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-42077677730596695442011-12-21T00:23:00.000-08:002011-12-21T00:23:36.048-08:00Tauhid, Inti Dakwah Para Rasul<div style="text-align: justify;">
<strong><span class="print-title"></span></strong>"Dan tidaklah Kami utus
seorang rasul sebelum kamu (Muhammad), kecuali telah Kami wahyukan kepadanya
bahwa sesungguhnya tiada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Aku, maka
sembahlah Aku." (Al-Anbiya : 25).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Telah lewat jaman para Rasul, dan telah
turun syariat mereka untuk kaum-kaum mereka. Begitu pula telah ditetapkan inti
ajaran dan dakwah dari Rasul kita, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wasalam.
<br />Para rasul adalah orang-orang yang terpilih untuk menyampaikan risalah yang
agung ini. Tidaklah Allah Ta'ala mengutus dan memberikan amanah ini kepada
seseorang kecuali pasti dan pasti Allah Ta'ala mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Allah 'Azza wa Jalla juga tidak akan menciptakan manusia begitu saja,
ditelantarkan dan dibiarkan hidup tanpa tujuan. Hal ini sebagaimana firman Allah
Ta'ala : "Apakah manusia mengira bahwa mereka ditelantarkan dan didiamkan saja "
(Al-Qiyamah : 36). Imam Syafi'i menafsirkan ayat ini, "Tidak dilarang dan tidak
diperintah " (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh) <br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Akan tetapi Allah berfirman : "Dan
tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
(Adz-Dzariyat : 56)<br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Setelah kita dapat mengetahui tujuan Allah menciptakan
kita, maka akan jelaslah apa tujuan dakwah para rasul bagi setiap umatnya,
karena yang menjadi tujuan Allah pastilah juga menjadi tujuan para utusan-Nya.
Tujuan dakwah para rasul tidak lain adalah makna dari ayat yang telah tertulis
di awal risalah ini (An-Nahl : 36). <br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Adapun makna dari ayat tersebut, Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, "Sesungguhnya Dia telah mengutus
seorang rasul kepada setiap kelompok manusia dengan kalimat yang tinggi,
"Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut", yang artinya adalah
beribadahlah kalian hanya kepada Allah semata dan tinggalkan peribadatan kepada
selain-Nya."<br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Adapun makna Thaghut, Ibnul Qayyim berkata, "Thaghut adalah
suatu keadaan yang melebihi batasan-batasan seorang hamba, seperti diibadahi,
diikuti atau ditaaati (dalam hal yang melanggar syariat)." <br />Maka Ibnul Qayyim
membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :<br />1. Orang yag berhukum
selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah).<br />2. Orang
yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.<br />3. Orang yang diikuti, tetapi dia
tidak berada di atas bashirah (ilmu) dari Allah dan diapun ridlo.<br />4. Orang
yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara tersebut hanya
Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam keadaan ridlo. (Fathul
Majid Syarh Kitabut Tauhid)<br />Sungguh para rasul yang telah diutus sangat
memperhatikan ilmu tauhid ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad
Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid
dan aqidah di Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah. <br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Perjalanan
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam ini menunjukkan betapa besarnya perkara
tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, "Dan perkara
yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah Tauhid yang artinya mengesakan
Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang paling besar adalah Syirik yang
artinya beribadah kepada Allah tetapi disertai juga beribadah kepada
selain-Nya." (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih
Al-Utsaimin). <br />Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya : "Beribadahlah hanya
kepada Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun."
(An-Nisa : 36) <br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Ibnul Qayyim pun berkata, "Barangsiapa yang ingin meninggikan
bangunannya, maka wajib bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya
bangunan itu ditentukan oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan cermin
dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya. <br />Tentu seorang
yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha
untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang bodoh akan berusaha untuk
meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh."
(Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad
Ar-Ramadhany)<br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Perkataan Ibnul Qayyim ini merupakan perkataan yang sangat
indah. Perkataan yang menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan
keutamaan di sisi Allah jalla jalaluh. Dengan tauhid maka akan menimbulkan
keyakinan di hati seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan
sungguh-sungguh, dia tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang disekitarnya
yang akan melencengkan dia dari jalan yang lurus. Jika ada suatu hal yang
mencocoki syariat, maka akan dipegang erat-erat, jika tidak, maka akan dijauhi
sejauh-jauhnya. Itulah hasil yang didapat dari pondasi yang kuat atau tauhid
yang mantap. <br />Akan tetapi sungguh telah banyak manusia yang melalaikannya,
bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang mengatakan, "Untuk memajukan
umat ini kita harus memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial
serta politik agar tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan
hanya permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa
barat". <br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Subhanallah !!! Maka tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang
ditokohkan, berbicara di atas panggung, maka mereka akan mengambil tema
"Teknologi Islam", "Ekonomi Islam", dan mengenyampingkan permasalahan tauhid.
<br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Jika ada yang mengambil tema "Tauhid yang benar", "Aqidah yang lurus",
"Keutamaan Tauhid", maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan jaman, padahal
untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan kekokohan pondasi yaitu
kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah,
jika tidak, maka, demi Allah, hancurlah bangunan mereka.<br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Allah berfirman
dalam kitab-Nya yang mulia : "Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang
beriman lagi beramal shalih diantara kalian untuk menjadikan mereka
pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu kalian
sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan menetapkan agama yang diridloi-Nya
untuk mereka, dan sungguh Allah akan menggantikan rasa takut menjadi rasa aman
bagi mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku dan
tidak berbuat syirik dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang kufur setelah
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq." (An-Nur : 55). Ayat di atas
menjelaskan kepada kita, bahwa akan tercapainya kepemimpinan di muka bumi,
ketetapan agama dan ketenangan hidup adalah hanya dengan mengamalkan tauhid,
yaitu hanya beribadah kepada-Nya, dan meninggalkan syirik, yaitu tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah
janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi jika kita
mengingkari hal tersebut, melaksanakan tauhid dan meninggalkan syirik, maka
Allah Ta'ala akan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang fasiq.<br /> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="print-normal">Dengan
semua penjelasan-penjelasan di atas, lalu bagaimanakah kita ? Apa yang akan kita
utamakan setelah ini, tauhid atau yang lainnya ? Dengan apakah kita akan
mendapatkan kejayaan, dengan tauhid atau dengan yang lain ? Sungguh jawabannya
hanya berkisar pada satu titik, yaitu inti dari dakwah para rasul, yaitu
mengetahui dan mengamalkan tauhid dan meninggalkan syirik. Semoga Allah
memasukkan kita ke dalam golongan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dan
bukan musyrikin, Amiin ya Rabbal 'Alamin. Wallahu A"lamu Bishshawab.</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-16874459303635110152011-12-21T00:18:00.000-08:002011-12-21T00:18:52.677-08:00Kedudukan Tauhid dalam Islam dan Urgensinya<strong><span class="print-title"></span></strong><span class="print-sub"></span>Sesungguhnya kaidah Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling
besar; satu-satunya yang diterima dan diridloi Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk
hamba-hamba Nya, yang merupakan satu-satunya jalan menuju kepada Nya, kunci
kebahagiaan dan jalan hidayah, tanda kesuksesan dan pemelihara dari berbagai
perselisihan, sumber semua kebaikan dan nikmat, kewajiban pertama bagi seluruh
hamba, serta kabar gembira yang dibawa oleh para Rasul dan para Nabi adalah
ibadah hanya kepada ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala semata dan tidak menyekutukannya,
bertauhid dalam semua keinginannya terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bertauhid
dalam urusan penciptaan, perintah-Nya dan seluruh asma (nama-nama) dan
sifat-sifat Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thaghut itu" <br />
<span class="print-normal">(QS An Nahl: 36)<br /><br />" Dan Kami tidak
mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku". (QS Al Anbiya' : 25)<br /><br />"Padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS At Taubah:
31)<br /><br />"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." <br />(QS Az
Zumar: 2-3)<br /><br />"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus"
<br />(QS Al Bayyinah: 5)<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan: <br />"Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa
sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala serta taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai
musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Orang yang merenungi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati
kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya." (Majmu' Fatawa
15/25) <br /><br />Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang
terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk
menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan
membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara
yang diharapkan membuahkan hasil. <br /><br />Jika syetan tidak berhasil
(menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk
menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan
manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam
berbagai bid'ah dan khurafat. <br />(Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman
bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4) <br /><br />Setiap dakwah Islam yang baru muncul
tidak dibangun di atas tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dan
tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful ummah yang shalih,
maka akan tersesat hina dan gagal, meski dikira berhasil, tidak sabar ketika
berhadapan dengan musuh, tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat berhadapan
(dengan berbagai rintangan). <br /><br />Kita saksikan banyak contoh-contoh dakwah
yang dicatat dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan akhir
yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-tahun, yang telah
mengorbankan nyawa dan harta kemudian berakhir dengan kebinasaan. <br /><br />Namun
seorang mu'min yang yakin dengan janji Allah yang pasti benar, tidak akan putus
asa dan menjadi kendor, tidak akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak
akan menerima jika sekian banyak percobaan-percobaan itu berlangsung silih
berganti tanpa ada manfaat yang diambil atau jatuh ke lubang yang sama untuk
kedua kalinya. <br />(Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim (no 2998) serta Imam
Ahmad dalam Musnadnya (2/379) <br /><br />Sudah ada teladan dan contoh yang paling
bagus pada diri Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman: <br /><br />"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat." (QS Al Ahzab: 21)<br /><br />Inilah manhaj pertama
dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada tauhid, memulai
dengan tauhid dan mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap
penting.<br /><br />Urgensi Tauhid <br />Untuk memperkokoh pemahaman kita tentang
pentingnya aqidah tauhid dalam kehidupan, maka pada kesempatan ini Al Madina
mencoba mengangkat tulisan syaikh jamil zainu seorang ulama besar di jazirah
Saudi Arabia, yang disusun dalam poin-poin dengan maksud memudahkan pemahaman
kita.<br /><br />Allah telah menciptakan alam semesta untuk sebuah tujuan yaitu
ibadah(tauhid), dan Allah mengutus para rasul untuk menyeru manusia kepada
tauhid ini. Bahkan Al Quran mengkedepankan pembahasan tauhid ini dalam
kebanyakan surat-suratnya.al quran pun memaparkan kejelekan syirik(lawan dari
tauhid) yang berlaku pada individu dan masyarakat. <br /><br />Syirik pula merupakan
sebab kehancuran kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Sesungguhnya para Rasul
memulai dakwah mereka untuk mengajak manusia kepada Tauhid. Firman ALLAH yg
artinya : "Tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu kecuali Kami wahyukan
kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Aku, maka
beribadahlah kepada-Ku" (QS Surat Al Anbiya') <br /><br />Rasul pun
mentarbiyah(memberikan pendidikan) kepada sahabatnya tentang tauhid ini semenjak
mereka kecil, sebagaimana perkataan beliau terhadap ibnu Abbas <br /><br />"Apabila
Engkau memohon maka mohonlah kepada Allah dan apabila engkau meminta pertolongan
mintalah pertolongan kepada Allah ." ( HR. Tirmidzi )<br /><br />Tauhid inilah
hakikat dari agama Islam yang dibangun diatasnya bangunan Islam yang
lain.<br /><br />Rasul mengajarkan para sahabat agar memulai dakwahnya dengan
tauhid, beliau bersabda kepada Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman : <br />"
Jadikanlah awal yang kamu seru adalah syahadat Laa ilaaha illallah, pada riwayat
yang lain agar mereka mentauhidkan Allah" ( Muttafaq Alaih) <br /><br />Tauhid
adalah perwujudan dari syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah yang
maknanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan tidak beribadah
kecuali dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Syahadat inilah yang
memasukkan seseorang kepada Islam, ia juga kunci Surga, yang seorang akan masuk
surga bila mengucapkannya selama tidak beraktivitas yang membatalkan Syahadat
tersebut. <br />Kafir Qurays menawari Rasulullah dengan kekuasaan, harta, wanita
dan materi dunia yang lain agar rasul meninggalkan dakwah Tauhid ini. Rasul
menolak tawaran tersebut dan terus menggencarkan aktivitas dakwahnya walau
menanggung beragam ujian dan cobaan. Hingga berlalu 13 tahun dan setelah itu
mekah ditakhlukkan, dihancurkan berhala yang disembah oleh orang kafir Quraisy.
Firman ALLAH yang artinya : "Telah datang kebenaran dan hancur kebatilan
sesungguhnya kebatilan itu pasti akan hancur " (QS Al Isra').<br /><br />Tauhid
adalah kewajiban tugas seorang muslim, dengannya dimulai dan diakhiri
kehidupannya. Dan tugas dalam kehidupannya adalah menegakkan Tauhid, berdakwah
kepada tauhid. Tauhid pula lah yang menyatukan hati-hati orang-orang yang
beriman , dan kita mohon kepada Allah agar menjadikan kalimat Tauhid sebagai
akhir kehidupan kita.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-44826689469124991452011-12-21T00:16:00.001-08:002012-01-26T01:45:30.559-08:00Bagaimanakah Kita Diciptakan ?Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim<br />
<hr />
<span class="print-normal">Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :<br />"Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin :
5)<br />Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat
kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna
penciptaannya dan alangkah indahnya!<br />Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:<br />"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya." (At Tin : 5)<br />Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa
menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan
mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!<br /><br />Lalu
pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap
penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari
tanah dan dari setetes mani yang hina?<br /><br />Pembahasan berikut ini mengajak
Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan
kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah 'Azza wa
Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.<br />Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam 'Alaihis Salam
:<br />"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah." (Shad :
71)<br /><br />Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan
orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka
diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :<br />"Sesungguhnya Kami telah
menciptakan mereka dari tanah liat." (Ash Shaffat : 11)<br /><br />Dua ayat di atas
dan ayat-ayat Al Qur'an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya
asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh
ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
sendiri.<br /><br />Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal
tersebut dalam hadits-haditsnya.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:<br />"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain).
Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (Al Mukminun :
12-14)<br /><br />"Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan
kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu
yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … ." (Al Hajj :
5)<br /><br />Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari
suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan
kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa 'Alaa saja yang berhak untuk
diibadahi.<br /><br />Begitu pula penggambaran penciptaan Adam 'Alaihis Salam yang
Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang
berbau busuk dan diberi bentuk.<br />"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk." (Al Hijr : 26)<br /><br />Tanah tersebut diambil dari seluruh
bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
:<br />"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak
tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam
(memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka
ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara
mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai
buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin)." (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan
Tirmidzi, berkata Tirmidzi : 'Hasan shahih'. Dishahihkan oleh Asy Syaikh
Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih
Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)<br /><br />Semoga Allah merahmati orang yang
berkata dalam bait syi'irnya :<br />Diciptakan manusia dari saripati yang berbau
busuk.<br />Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.<br />Setelah Allah
Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Adam 'Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan
pula Hawa 'Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :<br />"Dia menciptakan
kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … ." (Az Zumar
: 6)<br /><br />Dalam ayat lain :<br />"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang
satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya
… ." (Al A'raf : 189)<br /><br />Dari Adam dan Hawa 'Alaihimas Salam inilah terlahir
anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman :<br />"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya
dari saripati air yang hina (mani)." (As Sajdah : 7-8)<br /><br />Imam Thabari
rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam
dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman
202)<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang
terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima') dalam
rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim
itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia
nyatakan dalam firman-Nya :<br />"Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang
hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu
yang ditentukan." (Al Mursalat : 20-22)<br /><br />Dari nuthfah, Allah jadikan
'alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari 'alaqah
menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah
itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala
kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang
dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang
tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk
tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa
dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam
Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)<br /><br />Demikianlah
kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman
dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai
'Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan
manusia) terucap dari lisannya pujian :<br />"Fatabarakallahu ahsanul
khaliqin"<br />Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik<br /><br />Lalu Allah
turunkan firman-Nya :<br />"Fatabarakallahu ahsanul khaliqin" untuk melengkapi
ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3
halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman
507-508)<br />Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta'ala, Dia memindahkan calon manusia
dari nuthfah menjadi 'alaqah. Dari 'alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa
membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga
kegelapan, sebagaimana firman-Nya :<br />" … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … ." (Az Zumar : 6)<br /><br />Yang
dimaksud "tiga kegelapan" dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang
menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut.
Demikian yang dikatakan Ibnu 'Abbas, Mujahid, 'Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak,
Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan
keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)<br /><br />Sekarang kita lihat
keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Abi 'Abdurrahman 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu
berkata :<br />Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau
bersabda (yang artinya) "Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya
dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal
darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat
daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia
meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya,
ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia,
sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga
sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka
telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka
sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang
beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka
melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu
ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya." (HR. Bukhari 6/303
-Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)<br /><br />Berita Nubuwwah di atas mengabarkan
bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga
bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama
sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga
dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan
seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di
atas.<br /><br />Dalam riwayat lain :<br />Malaikat masuk menuju nuthfah setelah
nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu
berkata : "Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?" Lalu ia
menulisnya. Kemudian berkata lagi : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?"
Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya,
kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi.
(HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu 'anhu, shahih)<br /><br />Dalam Ash
Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda :<br />Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim.
Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah,
wahai Rabbku! Segumpal daging." Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan
penciptaannya, Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?
Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana
ajalnya?" Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477
-Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu
'anhu)<br /><br />Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga
dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan
keadaan nuthfah dan ia berkata : "Wahai Rabbku! Ini 'alaqah, ini mudhghah" pada
waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia
Subhanahu wa Ta'ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui
setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi
anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat
itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada
waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk
calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging,
dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian
itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan
sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna
bentuknya.<br /><br />Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :<br />Apabila
telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat,
maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku!
Laki-laki atau perempuan … ."<br /><br />Al Qadhi 'Iyadl dan selainnya mengatakan
bahwasanya sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan
dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna
dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk
pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu
menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu
40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan
perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Al Mukminun ayat
12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An
Nawawi, halaman 189-191)<br /><br />Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul
Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : "Adapun
sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya
pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir
hadits Ibnu Mas'ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak
manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits
Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara
penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana
pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi
menuliskannya."<br /><br />Dalam ta'liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204
disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah
berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang
lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut
bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi
mudhghah. Wallahu A'lam.<br /><br />Perubahan janin dari nuthfah menjadi 'alaqah dan
seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40
hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit
demi sedikit hingga sempurna menjadi 'alaqah pada 40 hari yang kedua, dan
sebelum itu tidaklah ia dinamakan 'alaqah. Kemudian 'alaqah bercampur dengan
daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul
Bari)<br /><br />Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini
telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun
madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya anak
ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin
seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah
memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa'id
Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan
Ishaq.<br /><br />Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : "Apabila janin
telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan
padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur)." (Lihat Iqadzul
Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah
Salim bin 'Ied Al Hilali)<br />Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas
bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga.
Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu
40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.<br />Imam An
Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah
membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) :
'Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40
hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga.
Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus
seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan
ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .'<br />Sabda
beliau ((… ????????…)) dengan menggunakan ((… ?? …)) menunjukkan diakhirkannya
penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang
ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah
waktu 40 hari yang pertama. Jawaban dari permasalahan ini adalah bahwasanya
sabda beliau ((… ????? ????? ????? ???? ???? ?? …)) merupakan ma'thuf dari
sabdanya ((… ??????????????? …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((…
????????????????? …)). Maka sabda beliau ((… ?????????????????
???????????????????…)) merupakan kalimat sisipan antara ma'thuf dan ma'thuf
'alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur'an,
hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab."<br /><br />Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :<br />"Sabda beliau ((… ??????????????????????… ))
merupakan ma'thuf dari (( … ????? … )). Adapun sabdanya (( … ?????… )) merupakan
kesempurnaan dari kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan
bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga tahap
kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan
dalam hadits Ibnu Mas'ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja,
bukan susunan yang diberitakan." (Fathul Bari 11/485)<br /><br />Yang jelas
penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang
ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang
demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma
:<br />"Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu
tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi." (HR. Muslim 2653,
shahih)<br /><br />Dalam hadits 'Ubadah bin Shamit radhiallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :<br />Pertama kali yang Allah
ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : "Tulislah!" Maka
pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud
4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al
Hilali dalam Iqadzul Himam)<br /><br />Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan
takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah
ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:<br />"Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau
di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia." Maka seorang laki-laki
berkata : "Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita
(yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?" Maka beliau bersabda :
"Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan
baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan
amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya
untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara." Kemudian beliau membaca :
"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah." (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari
dan Muslim 2647]<br /><br />Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir
amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas. Demikian
pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :<br />"Sesungguhnya hanyalah
amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya)." (HR. Bukhari 11/330 -Fathul
Bari)<br /><br />Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa
menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam
'Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah
hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga
oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal
daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak
manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan
kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah
rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan
datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang
sengsara. Naudzubillah!<br /><br />Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan
kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita
semua.<br />Wallahu A'lam Bis Shawab.<br />Daftar Bacaan :<br />1. Al Qur'anul
Karim.<br />2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.<br />3. Ad
Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma'tsur. Imam As Suyuthi.<br />4. Ahkamuth Thifli.
Asy Syaikh Ahmad Al 'Aysawi.<br />5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.<br />6. 'Aunul
Ma'bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.<br />7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu
Bakar Jabir Al Jazairi.<br />8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al
Atsqalani.<br />9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Syaikh
Abi Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali.<br />10. Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Al Hafidh
Ibnu Rajab Al Hanbali.<br />11. Jami' Al Bayan fi Ta'wil Al Qur'an. Ibnu Jarir Ath
Thabari.<br />12. Mu'jam Mufradat Alfadzil Qur'an. Al 'Allamah Al
Ashfahani.<br />13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.<br />14. Shahih
Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.<br />15. Shahih Sunan At
Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.<br />16. Tafsir Ibnu Katsir. Al
Hafidh Ibnu Katsir.<br />17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.<br />Artinya :
Jejak kehidupannya.<br />Ma'thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna
kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak
sebelumnya.<br />Ma'thuf 'alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu
yang terletak sesudahnya.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4620346236345324489.post-74963988336464867112011-12-20T21:15:00.000-08:002011-12-20T21:15:12.056-08:00Rambu-Rambu Ibadah<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px; margin-top: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Kata ibadah tentu sangat akrab bagi kaum
muslimin. Ibadah merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
seorang muslim. Bahkan tujuan diciptakannya manusia dan jin oleh Allah Subhanahu
Wa Ta'ala tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Di tengah rutinitas menjalankan aktivitas ibadah,
bisa jadi tidak semua muslim paham makna ibadah itu sendiri. Padahal,
ketidakpahaman makna ibadah bisa mengakibatkan tertolaknya ibadah yang
dilakukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya <i>Al Ubudiyyah</i>
menerangkan, ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bisa terdiri dari ucapan maupun perbuatan,
baik nampak maupun tidak.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Semua yang Allah cintai telah Allah bawakan dalam
Al Qur’an dan diterangkan oleh RasulNya. Begitu pula apa yang Allah benci, telah
Allah jelaskan. Sehingga di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, Allah Subhanahu Wa
Ta'ala memerintahkan suatu perbuatan karena Allah mencintainya dan Allah
melarang sebuah perbuatan karena Allah membencinya. Karena itu, dalam kesempatan
lain Ibnu Taimiyyah mengatakan ibadah adalah taat kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dengan melakukan apa yang Allah perintahkan melalui lisan para
RasulNya.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Pendapat Al Qurthuby bisa melengkapi penjelasan
Ibnu Taimiyyah. Menurut Al Qurthuby, asal ibadah adalah kehinaan dan ketundukan.
Karena itu amalan-amalan syar’i pada seorang <i>mukallaf</i> (seorang mukmin
yang sudah terbebani syariat) disebut ibadah karena mereka mengamalkannya dalam
keadaan tunduk dan menghinakan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Dari dua pengertian ibadah tersebut, diperoleh
penjelasan bahwa sesuatu dikatakan sebagai ibadah kepada Allah jika dilakukan
pada segala yang dicintai dan diridhai Allah serta dilakukan dalam keadaan
tunduk dan hina di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Dari sini, dipahami pula bahwa ibadah terbagi ke
dalam dua jenis, yaitu ibadah lahir dan ibadah batin. Ibadah lahir mencakup
ucapan lisan dan perbuatan anggota badan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan
seterusnya.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Dalam melakukan ibadah, seseorang harus memiliki
landasan agar ibadah tersebut diterima Allah. Dalam hal ini, para ulama
menjelaskan, ada tiga landasan yang harus dimiliki seorang muslim dalam
beribadah. Landasan pertama adalah <i>mahabbah</i>, yaitu rasa cinta kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, RasulNya Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan syariatNya.
Landasan kedua adalah <i>raja’</i>, yaitu mengharap pahala dan rahmat Allah, dan
yang ketiga adalah <i>khauf</i>, rasa takut dari siksa Allah dan khawatir akan
nasib jelek di akhirat nanti.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Seorang ulama bernama Ibnu Rajab Al Hambaly
mengatakan, ibadah hanya akan terbangun di atas tiga prinsip, yaitu
<i>khauf</i>,<i> raja’</i>, dan <i>mahabbah</i>. Masing-masing dari ketiganya
harus ada dan wajib menggabungkannya. Karena itu para ulama salaf mencela orang
yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan salah satunya saja.
Demikian Ibnu Rajab menerangkan. (<i>Syarh Wasithiyyah</i> karya Abdul Aziz Ar
Rasyid hal. 76).</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan,
barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan cinta, dia adalah
<i>zindiq</i> (orang yang menyembunyikan kekafiran). Siapa yang beribadah kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya dengan rasa takut maka dia adalah <i>harury</i>
(<i>Khawarij</i>, yang menganggap setiap yang berdosa besar telah kafir). Siapa
yang beribadah kepada Allah hanya dengan <i>raja’</i> (penuh optimis), maka dia
adalah <i>murji’</i> (orang yang menganggap amal shaleh tidak berpengaruh
terhadap imannya, selama masih ada iman di hatinya). Dan barangsiapa beribadah
kepada Allah dengan cinta, takut, dan mengharap maka dialah orang yang bertauhid
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (<i>Ma’arijul Qabul</i> 2/437).</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Jadi, pengakuan cinta kepada Allah tanpa disertai
rasa hina, takut, mengharap, dan tunduk kepada Allah adalah pengakuan dusta.
Karena itu, sering dijumpai orang yang berperilaku demikian seringkali terjatuh
dalam maksiat dan dilakukan tanpa ia peduli. Demikian pula orang yang hanya
memiliki sikap <i>raja’</i> (mengharap, penuh optimis dengan ampunan Allah),
jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat berani melakukan maksiat dan
merasa aman dari makar Allah Subhanahu Wa Ta'ala.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Dan orang yang hanya memiliki rasa takut dalam
beribadah kepada Allah, jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat
<i>su’udhan</i> (buruk sangka) kepada Allah dan akan berputus asa dari
rahmatNya.</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Perlu diketahui dan diingat pula bahwa tidak
semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Allah baru akan menerima ibadah bila memenuhi syaratnya. Allah jelaskan
dalam surat Al Kahfi<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>ayat 110,
artinya:</span></div>
<div align="justify" class="MsoBodyText" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan
Allah hendaknya ia beramal shaleh dan tidak membuat sekutu di dalam ibadah
kepada Rabb-nya sesuatupun.”</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerangkan dalam ayat
ini bahwa seseorang yang menghendaki pertemuan denganNya hendaklah melakukan dua
hal. Pertama, beramal shaleh menuruti syariat ini sebagaimana dicontohkan oleh
Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini mutlak dilakukan, sebab bila menyalahi
contoh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam akan ditolak karena terjerumus ke dalam
bid’ah. Hal ini sebagaimana Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam jelaskan
:</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;"><i>“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang
bukan atas perintahku maka tertolak.”</i> <b>(HR. Muslim dari
Aisyah).</b></span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Yang kedua, tidak membuat sekutu apapun dalam
beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Artinya, ia harus benar-benar ikhlas
dalam ibadahnya. Hanya ia niatkan dan tujukan kepada Allah semata. Tidak kepada
selainNya, baik benda-benda yang dikeramatkan atau makhluk-makhluk yang tidak
mampu memberikan manfaat atau mudharat. Orang yang melakukan kesyirikan dalam
ibadahnya akan Allah tolak sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala terangkan dalam
hadits Qudsi :</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;"><i>“Aku paling tidak butuh kepada sekutu.
Barangsiapa melakukan ibadah yang ia menyekutukan Aku, maka aku akan
meninggalkannya bersama sekutunya.”</i> <b>(HR. Muslim)
</b></span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga menerangkan di
dalam Al Qur’an :</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;"><i>“Dialah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalannya.”</i> <b>(Al
Mulk : 2-3). </b></span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Perhatikan, Allah menyatakan yang paling baik
amalannya bukan sekadar paling banyak amalannya, tetapi salah. Seorang ulama
bernama Abu Ali Fudhail bin Iyadh berkata menafsiri ayat tersebut : “Yakni yang
paling ikhlas dan paling benar”. Beliau ditanya, </span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">“Wahai Abu Ali, bagaimana yang
paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab, sesungguhnya sebuah
amalan jika ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar tapi
tidak ikhlas, tidak diterima hingga menjadi benar dan ikhlas (baru diterima).
(<i>Majmu’ Fatawa</i> 11/6)</span></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 20px; margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<br /></div>
<div align="justify" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 20px; margin-left: 20px; margin-right: 20px;">
<span style="font-family: Arial;">Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya akan
menerima ibadah seorang hamba jika dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan dipersembahkan hanya untukNya semata.
Ibadah itu juga dilakukan dengan dilandasi rasa cinta, penuh mengharap, dan juga
takut. Dengan demikikan sempurnalah ibadah itu dan diharap Allah Subhanahu Wa
Ta'ala akan menerimanya. <i>Wallahu A’lam.</i></span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/17426745560082696518noreply@blogger.com0