Penulis: Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah
an Nawawi
Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah.
Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah.
Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya,
ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.
Tak kenal maka tak
sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka
tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan
larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan
sebenarnya.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan
sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang
demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta
kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allah
sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya
ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan
musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan
demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang
akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri,
dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk
ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan
hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa
aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala
macam problema hidup.
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah
tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat
kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal
Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka dari itu
mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat
mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah
ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal
Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Keempat
cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik
global maupun terperinci.
Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29,
mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an
dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua,
melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam
firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang
dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki
akal.” (QS. Ali Imran: 190)
Juga dalam firman-Nya yang lain:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang,
serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al
Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman bahwa Allah
itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia,
dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk
ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan
menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin
ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita
melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di
dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau
Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian
pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak
dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah
mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat
jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa
manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini
bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi
seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin hal 41-45)
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah
mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan
pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang
menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat
dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik
hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi
Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada
seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’
Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini
bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas,
berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan
selain-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah
tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan
demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini
mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa
tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui
jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka
inginkan dari sesembahan itu?
Allah telah menceritakan di dalam Al
Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang
yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak
menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan
sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan
syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan mereka
menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan
manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang
memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy
Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebagian orang
kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa
firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan
mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu
bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang
menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut:
61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS.
Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka
terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak
menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta
mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum
muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara
kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak
mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan
keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus
berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan
para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi
para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang
paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak
dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa
memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam
marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan,
menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang
meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan
pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar
hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal
Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan
bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih,
bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan
Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu
jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di
sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah
berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan
hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan
apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah
berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan
hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak
bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah
karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling
ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di
dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya.
Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini
dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus
menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam
hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang
melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan
membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang
mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu
orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke
tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni
tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang
menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia
pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di
tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah
dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman
bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah
dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang
tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya.
Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman
Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya
sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang
nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan
apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah.
Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai
dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)
Ketika berbicara tentang
sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah
dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu
yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian
berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan
janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)
Wallahu ‘alam
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [At-Taubah: 71]
Kamis, 29 Desember 2011
Rabu, 21 Desember 2011
SHALATLAH, DIMANA DAN BAGAIMANAPUN KEADAANMU!
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya ibadah shalat bukanlah dikhususkan bagi
umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bahkan juga disyari’atkan kepada
para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Mereka pun
memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan shalat. Allah subhanahu
wata'ala berfirman (artinya):
“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.” (Maryam: 54-55)
“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaaha: 13-14)
Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rasul.
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Setelah kita mengetahui bahwa shalat merupakan bagian dari agama para nabi dan rasul maka bagaimanakah kedudukan shalat itu sendiri menurut kaca mata Islam?
Shalat dalam agama Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita mencermati nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah. Di antaranya sebagai berikut:
1. Mendirikan shalat adalah tanda sebenar-benarnya orang mu’min. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka.” (Al Anfal: 2-3)
2. Shalat merupakan Rukun Islam yang ke dua. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Islam dibangun di atas lima (rukun): Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah (Makkah).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
3. Shalat merupakan tiang agama. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ
“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)
4. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dan sebagai tolok ukur dari seluruh amal ibadah yang lainnya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani)
5. Turunnya perintah shalat tanpa melalui perantara Malaikat Jibril, bahkan Rasulullah ? sendiri menerima langsung dari Allah subhanahu wata'ala di atas langit yang ke tujuh.
Shalat Perintah Agung Dari Allah subhanahu wata'ala
Allah subhanahu wata'ala menyebutkan secara tegas di dalam Al Qur’an tentang kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Terlebih lagi perintah shalat lima waktu diwahyukan secara langsung dari Allah ? tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihis salam. Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim keduanya meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihis salam datang menjemput beliau shalallahu alaihi wasallam untuk menghadap Allah subhanahu wata'ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang langkah kakinya sejauh mata memandang.
Kemudian Jibril membawa beliau menuju langit ke tujuh. Setiap kali melewati lapisan langit, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertemu dengan para rasul dan nabi. Sampai akhirnya beliau ? tiba di Sidratul Muntaha yang tidak ada satu makhlukpun yang mampu menggambarkan keindahannya. Di tempat inilah beliau shalallahu alaihi wasallam menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ Mi’raj.
Bahkan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa wasiat terakhir dari Rasulullah ? menjelang wafatnya, beliau shalallahu alaihi wasallam berkata: “Ash Shalatu, Ash Shalatu.” Dalam riwayat yang lain: “Bertakwalah kalian kepada Allah dengan shalat.” (lihat Irwaul Ghalil: 7/238)
Pelatihan Shalat Sejak Dini
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan Nabi-Nya (sekaligus untuk umatnya) supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban shalat. Allah subahanhu wata'ala berfirman (artinya): “Dan perintahkanlah keluargamu supaya mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …” (Thaaha: 132)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءٌ سَبْعُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءٌ عَشَرٌ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat (mulai) pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka (yang enggan untuk shalat) setelah usia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad, lihat Irwaul Ghalil 2/7)
Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Shalat
Kewajiban menegakkan shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:
1. Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)
2. Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ : وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )
3. Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).
4. Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
5. Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah: 6)
Meskipun ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban shalat sesuai dengan kemampuannya. Karena Allah subhanahu wata'ala tidak memberikan beban kepada siapa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Ancaman Meninggalkan Shalat
Para pembaca yang mulia, setelah memahami uraian di atas tentang tingginya kedudukan shalat dalam agama dan keutamaan-keutamaan yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada orang-orang yang memenuhi kewajiban shalat. Lalu apakah orang yang melalaikan shalat dibiarkan begitu saja? Tentunya tidak. Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam benar-benar telah memberikan peringatan dan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan shalat.
Allah subhanahu wata'ala telah menyediakan neraka Saqar yang dikhususkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ...” (Al Muddatstsir: 42-43)
Dalam hadits-hadts yang shahih, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga telah memberikan peringatan keras terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Diantaranya:
1. Hadits Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
”Perbedaan antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah melakukan kekafiran.” (HR. At Tirmidzi, lihat Shahih At Targhib no. 564)
2. Hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
3. Hadits Tsauban radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلاَةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pembeda antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat, bila ia meninggalkannya berarti ia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Ath Thabari, lihat Shahih At Targhib no. 566)
4. Hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَلاَ تَشْرِبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
“Janganlah kamu berbuat kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar, dan jangan pula meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya, serta jangan pula minum khamr (arak dan semisalnya –pent) karena sesungguhnya khamr itu pintu setiap kejelekan.”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”, sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”. (lihat Shahih At Targhib no. 567. 569)
Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi ?, diantaranya:
Umar radhiallahu anhu berkata:
لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:
مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ
“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni 3/355)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)
Abu Darda’ radhialallahu anhu berkata:
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ
“Tidak ada keimanan bagi yang tidak shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.” (Shahih At Targhib no. 575)
Wahai saudaraku yang mulia, walaupun ada sebagian para ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja belum sampai kafir selama masih meyakini kewajiban shalat. Tapi janganlah bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di atas bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diancam dengan kekufuran, tidak punya keimanan dan tidak punya bagian sedikit pun dari Islam, kecuali bagi orang yang mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dihadapan Allah subhanahu wata'ala.
“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.” (Maryam: 54-55)
“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaaha: 13-14)
Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rasul.
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Setelah kita mengetahui bahwa shalat merupakan bagian dari agama para nabi dan rasul maka bagaimanakah kedudukan shalat itu sendiri menurut kaca mata Islam?
Shalat dalam agama Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita mencermati nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah. Di antaranya sebagai berikut:
1. Mendirikan shalat adalah tanda sebenar-benarnya orang mu’min. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka.” (Al Anfal: 2-3)
2. Shalat merupakan Rukun Islam yang ke dua. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Islam dibangun di atas lima (rukun): Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah (Makkah).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
3. Shalat merupakan tiang agama. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ
“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)
4. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dan sebagai tolok ukur dari seluruh amal ibadah yang lainnya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani)
5. Turunnya perintah shalat tanpa melalui perantara Malaikat Jibril, bahkan Rasulullah ? sendiri menerima langsung dari Allah subhanahu wata'ala di atas langit yang ke tujuh.
Shalat Perintah Agung Dari Allah subhanahu wata'ala
Allah subhanahu wata'ala menyebutkan secara tegas di dalam Al Qur’an tentang kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Terlebih lagi perintah shalat lima waktu diwahyukan secara langsung dari Allah ? tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihis salam. Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim keduanya meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihis salam datang menjemput beliau shalallahu alaihi wasallam untuk menghadap Allah subhanahu wata'ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang langkah kakinya sejauh mata memandang.
Kemudian Jibril membawa beliau menuju langit ke tujuh. Setiap kali melewati lapisan langit, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertemu dengan para rasul dan nabi. Sampai akhirnya beliau ? tiba di Sidratul Muntaha yang tidak ada satu makhlukpun yang mampu menggambarkan keindahannya. Di tempat inilah beliau shalallahu alaihi wasallam menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ Mi’raj.
Bahkan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa wasiat terakhir dari Rasulullah ? menjelang wafatnya, beliau shalallahu alaihi wasallam berkata: “Ash Shalatu, Ash Shalatu.” Dalam riwayat yang lain: “Bertakwalah kalian kepada Allah dengan shalat.” (lihat Irwaul Ghalil: 7/238)
Pelatihan Shalat Sejak Dini
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan Nabi-Nya (sekaligus untuk umatnya) supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban shalat. Allah subahanhu wata'ala berfirman (artinya): “Dan perintahkanlah keluargamu supaya mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …” (Thaaha: 132)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءٌ سَبْعُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءٌ عَشَرٌ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat (mulai) pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka (yang enggan untuk shalat) setelah usia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad, lihat Irwaul Ghalil 2/7)
Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Shalat
Kewajiban menegakkan shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:
1. Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)
2. Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ : وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )
3. Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).
4. Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
5. Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah: 6)
Meskipun ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban shalat sesuai dengan kemampuannya. Karena Allah subhanahu wata'ala tidak memberikan beban kepada siapa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Ancaman Meninggalkan Shalat
Para pembaca yang mulia, setelah memahami uraian di atas tentang tingginya kedudukan shalat dalam agama dan keutamaan-keutamaan yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada orang-orang yang memenuhi kewajiban shalat. Lalu apakah orang yang melalaikan shalat dibiarkan begitu saja? Tentunya tidak. Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam benar-benar telah memberikan peringatan dan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan shalat.
Allah subhanahu wata'ala telah menyediakan neraka Saqar yang dikhususkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ...” (Al Muddatstsir: 42-43)
Dalam hadits-hadts yang shahih, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga telah memberikan peringatan keras terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Diantaranya:
1. Hadits Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
”Perbedaan antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah melakukan kekafiran.” (HR. At Tirmidzi, lihat Shahih At Targhib no. 564)
2. Hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
3. Hadits Tsauban radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلاَةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pembeda antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat, bila ia meninggalkannya berarti ia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Ath Thabari, lihat Shahih At Targhib no. 566)
4. Hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَلاَ تَشْرِبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
“Janganlah kamu berbuat kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar, dan jangan pula meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya, serta jangan pula minum khamr (arak dan semisalnya –pent) karena sesungguhnya khamr itu pintu setiap kejelekan.”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”, sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”. (lihat Shahih At Targhib no. 567. 569)
Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi ?, diantaranya:
Umar radhiallahu anhu berkata:
لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355)
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:
مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ
“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni 3/355)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)
Abu Darda’ radhialallahu anhu berkata:
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ
“Tidak ada keimanan bagi yang tidak shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.” (Shahih At Targhib no. 575)
Wahai saudaraku yang mulia, walaupun ada sebagian para ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja belum sampai kafir selama masih meyakini kewajiban shalat. Tapi janganlah bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di atas bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diancam dengan kekufuran, tidak punya keimanan dan tidak punya bagian sedikit pun dari Islam, kecuali bagi orang yang mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dihadapan Allah subhanahu wata'ala.
Tauhid, hak Allah Ta'ala atas segenap manusia
Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh
manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah
Subhanahu wa Ta`ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Ad-Dzaariyaat: 56)
Sebagian ulama menafsirkan kalimat: "supaya menyembah-Ku" dengan makna: "supaya mentauhidkan-Ku" (Lihat Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)
Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". (Al-An`aam:88)
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.
Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah Subhanahu wa Ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan.
Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.
Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.
Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (Thoha: 132)
Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.
Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun." (Al-Maaidah: 72)
Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk." (Al-An`aam: 82)
Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rosulullah shollallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhori)
Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:
فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
"Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)
Wallohu a`lam bish-showaab.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Ad-Dzaariyaat: 56)
Sebagian ulama menafsirkan kalimat: "supaya menyembah-Ku" dengan makna: "supaya mentauhidkan-Ku" (Lihat Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)
Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". (Al-An`aam:88)
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.
Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah Subhanahu wa Ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan.
Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.
Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.
Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (Thoha: 132)
Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.
Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun." (Al-Maaidah: 72)
Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk." (Al-An`aam: 82)
Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rosulullah shollallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhori)
Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:
فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
"Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)
Wallohu a`lam bish-showaab.
Tauhid, Inti Dakwah Para Rasul
"Dan tidaklah Kami utus
seorang rasul sebelum kamu (Muhammad), kecuali telah Kami wahyukan kepadanya
bahwa sesungguhnya tiada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Aku, maka
sembahlah Aku." (Al-Anbiya : 25).
Telah lewat jaman para Rasul, dan telah
turun syariat mereka untuk kaum-kaum mereka. Begitu pula telah ditetapkan inti
ajaran dan dakwah dari Rasul kita, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wasalam.
Para rasul adalah orang-orang yang terpilih untuk menyampaikan risalah yang agung ini. Tidaklah Allah Ta'ala mengutus dan memberikan amanah ini kepada seseorang kecuali pasti dan pasti Allah Ta'ala mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Allah 'Azza wa Jalla juga tidak akan menciptakan manusia begitu saja, ditelantarkan dan dibiarkan hidup tanpa tujuan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Apakah manusia mengira bahwa mereka ditelantarkan dan didiamkan saja " (Al-Qiyamah : 36). Imam Syafi'i menafsirkan ayat ini, "Tidak dilarang dan tidak diperintah " (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)
Para rasul adalah orang-orang yang terpilih untuk menyampaikan risalah yang agung ini. Tidaklah Allah Ta'ala mengutus dan memberikan amanah ini kepada seseorang kecuali pasti dan pasti Allah Ta'ala mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Allah 'Azza wa Jalla juga tidak akan menciptakan manusia begitu saja, ditelantarkan dan dibiarkan hidup tanpa tujuan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Apakah manusia mengira bahwa mereka ditelantarkan dan didiamkan saja " (Al-Qiyamah : 36). Imam Syafi'i menafsirkan ayat ini, "Tidak dilarang dan tidak diperintah " (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)
Akan tetapi Allah berfirman : "Dan
tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
(Adz-Dzariyat : 56)
Setelah kita dapat mengetahui tujuan Allah menciptakan
kita, maka akan jelaslah apa tujuan dakwah para rasul bagi setiap umatnya,
karena yang menjadi tujuan Allah pastilah juga menjadi tujuan para utusan-Nya.
Tujuan dakwah para rasul tidak lain adalah makna dari ayat yang telah tertulis
di awal risalah ini (An-Nahl : 36).
Adapun makna dari ayat tersebut, Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, "Sesungguhnya Dia telah mengutus
seorang rasul kepada setiap kelompok manusia dengan kalimat yang tinggi,
"Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut", yang artinya adalah
beribadahlah kalian hanya kepada Allah semata dan tinggalkan peribadatan kepada
selain-Nya."
Adapun makna Thaghut, Ibnul Qayyim berkata, "Thaghut adalah
suatu keadaan yang melebihi batasan-batasan seorang hamba, seperti diibadahi,
diikuti atau ditaaati (dalam hal yang melanggar syariat)."
Maka Ibnul Qayyim membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :
1. Orang yag berhukum selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah).
2. Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.
3. Orang yang diikuti, tetapi dia tidak berada di atas bashirah (ilmu) dari Allah dan diapun ridlo.
4. Orang yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara tersebut hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam keadaan ridlo. (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid)
Sungguh para rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu tauhid ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah.
Maka Ibnul Qayyim membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :
1. Orang yag berhukum selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah).
2. Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.
3. Orang yang diikuti, tetapi dia tidak berada di atas bashirah (ilmu) dari Allah dan diapun ridlo.
4. Orang yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara tersebut hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam keadaan ridlo. (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid)
Sungguh para rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu tauhid ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah.
Perjalanan
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam ini menunjukkan betapa besarnya perkara
tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, "Dan perkara
yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah Tauhid yang artinya mengesakan
Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang paling besar adalah Syirik yang
artinya beribadah kepada Allah tetapi disertai juga beribadah kepada
selain-Nya." (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih
Al-Utsaimin).
Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya : "Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." (An-Nisa : 36)
Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya : "Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." (An-Nisa : 36)
Ibnul Qayyim pun berkata, "Barangsiapa yang ingin meninggikan
bangunannya, maka wajib bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya
bangunan itu ditentukan oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan cermin
dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya.
Tentu seorang yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang bodoh akan berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh." (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany)
Tentu seorang yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang bodoh akan berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh." (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany)
Perkataan Ibnul Qayyim ini merupakan perkataan yang sangat
indah. Perkataan yang menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan
keutamaan di sisi Allah jalla jalaluh. Dengan tauhid maka akan menimbulkan
keyakinan di hati seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan
sungguh-sungguh, dia tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang disekitarnya
yang akan melencengkan dia dari jalan yang lurus. Jika ada suatu hal yang
mencocoki syariat, maka akan dipegang erat-erat, jika tidak, maka akan dijauhi
sejauh-jauhnya. Itulah hasil yang didapat dari pondasi yang kuat atau tauhid
yang mantap.
Akan tetapi sungguh telah banyak manusia yang melalaikannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang mengatakan, "Untuk memajukan umat ini kita harus memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa barat".
Akan tetapi sungguh telah banyak manusia yang melalaikannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang mengatakan, "Untuk memajukan umat ini kita harus memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa barat".
Subhanallah !!! Maka tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang
ditokohkan, berbicara di atas panggung, maka mereka akan mengambil tema
"Teknologi Islam", "Ekonomi Islam", dan mengenyampingkan permasalahan tauhid.
Jika ada yang mengambil tema "Tauhid yang benar", "Aqidah yang lurus",
"Keutamaan Tauhid", maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan jaman, padahal
untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan kekokohan pondasi yaitu
kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah,
jika tidak, maka, demi Allah, hancurlah bangunan mereka.
Allah berfirman
dalam kitab-Nya yang mulia : "Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang
beriman lagi beramal shalih diantara kalian untuk menjadikan mereka
pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu kalian
sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan menetapkan agama yang diridloi-Nya
untuk mereka, dan sungguh Allah akan menggantikan rasa takut menjadi rasa aman
bagi mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku dan
tidak berbuat syirik dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang kufur setelah
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq." (An-Nur : 55). Ayat di atas
menjelaskan kepada kita, bahwa akan tercapainya kepemimpinan di muka bumi,
ketetapan agama dan ketenangan hidup adalah hanya dengan mengamalkan tauhid,
yaitu hanya beribadah kepada-Nya, dan meninggalkan syirik, yaitu tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah
janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi jika kita
mengingkari hal tersebut, melaksanakan tauhid dan meninggalkan syirik, maka
Allah Ta'ala akan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang fasiq.
Dengan
semua penjelasan-penjelasan di atas, lalu bagaimanakah kita ? Apa yang akan kita
utamakan setelah ini, tauhid atau yang lainnya ? Dengan apakah kita akan
mendapatkan kejayaan, dengan tauhid atau dengan yang lain ? Sungguh jawabannya
hanya berkisar pada satu titik, yaitu inti dari dakwah para rasul, yaitu
mengetahui dan mengamalkan tauhid dan meninggalkan syirik. Semoga Allah
memasukkan kita ke dalam golongan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dan
bukan musyrikin, Amiin ya Rabbal 'Alamin. Wallahu A"lamu Bishshawab.
Kedudukan Tauhid dalam Islam dan Urgensinya
Sesungguhnya kaidah Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling
besar; satu-satunya yang diterima dan diridloi Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk
hamba-hamba Nya, yang merupakan satu-satunya jalan menuju kepada Nya, kunci
kebahagiaan dan jalan hidayah, tanda kesuksesan dan pemelihara dari berbagai
perselisihan, sumber semua kebaikan dan nikmat, kewajiban pertama bagi seluruh
hamba, serta kabar gembira yang dibawa oleh para Rasul dan para Nabi adalah
ibadah hanya kepada ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala semata dan tidak menyekutukannya,
bertauhid dalam semua keinginannya terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bertauhid
dalam urusan penciptaan, perintah-Nya dan seluruh asma (nama-nama) dan
sifat-sifat Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thaghut itu"
(QS An Nahl: 36)
" Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS Al Anbiya' : 25)
"Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS At Taubah: 31)
"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)."
(QS Az Zumar: 2-3)
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus"
(QS Al Bayyinah: 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
"Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala serta taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Orang yang merenungi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya." (Majmu' Fatawa 15/25)
Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.
Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bid'ah dan khurafat.
(Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4)
Setiap dakwah Islam yang baru muncul tidak dibangun di atas tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dan tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful ummah yang shalih, maka akan tersesat hina dan gagal, meski dikira berhasil, tidak sabar ketika berhadapan dengan musuh, tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat berhadapan (dengan berbagai rintangan).
Kita saksikan banyak contoh-contoh dakwah yang dicatat dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan akhir yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-tahun, yang telah mengorbankan nyawa dan harta kemudian berakhir dengan kebinasaan.
Namun seorang mu'min yang yakin dengan janji Allah yang pasti benar, tidak akan putus asa dan menjadi kendor, tidak akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak akan menerima jika sekian banyak percobaan-percobaan itu berlangsung silih berganti tanpa ada manfaat yang diambil atau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
(Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim (no 2998) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya (2/379)
Sudah ada teladan dan contoh yang paling bagus pada diri Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat." (QS Al Ahzab: 21)
Inilah manhaj pertama dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada tauhid, memulai dengan tauhid dan mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap penting.
Urgensi Tauhid
Untuk memperkokoh pemahaman kita tentang pentingnya aqidah tauhid dalam kehidupan, maka pada kesempatan ini Al Madina mencoba mengangkat tulisan syaikh jamil zainu seorang ulama besar di jazirah Saudi Arabia, yang disusun dalam poin-poin dengan maksud memudahkan pemahaman kita.
Allah telah menciptakan alam semesta untuk sebuah tujuan yaitu ibadah(tauhid), dan Allah mengutus para rasul untuk menyeru manusia kepada tauhid ini. Bahkan Al Quran mengkedepankan pembahasan tauhid ini dalam kebanyakan surat-suratnya.al quran pun memaparkan kejelekan syirik(lawan dari tauhid) yang berlaku pada individu dan masyarakat.
Syirik pula merupakan sebab kehancuran kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Sesungguhnya para Rasul memulai dakwah mereka untuk mengajak manusia kepada Tauhid. Firman ALLAH yg artinya : "Tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku" (QS Surat Al Anbiya')
Rasul pun mentarbiyah(memberikan pendidikan) kepada sahabatnya tentang tauhid ini semenjak mereka kecil, sebagaimana perkataan beliau terhadap ibnu Abbas
"Apabila Engkau memohon maka mohonlah kepada Allah dan apabila engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah ." ( HR. Tirmidzi )
Tauhid inilah hakikat dari agama Islam yang dibangun diatasnya bangunan Islam yang lain.
Rasul mengajarkan para sahabat agar memulai dakwahnya dengan tauhid, beliau bersabda kepada Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman :
" Jadikanlah awal yang kamu seru adalah syahadat Laa ilaaha illallah, pada riwayat yang lain agar mereka mentauhidkan Allah" ( Muttafaq Alaih)
Tauhid adalah perwujudan dari syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah yang maknanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan tidak beribadah kecuali dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Syahadat inilah yang memasukkan seseorang kepada Islam, ia juga kunci Surga, yang seorang akan masuk surga bila mengucapkannya selama tidak beraktivitas yang membatalkan Syahadat tersebut.
Kafir Qurays menawari Rasulullah dengan kekuasaan, harta, wanita dan materi dunia yang lain agar rasul meninggalkan dakwah Tauhid ini. Rasul menolak tawaran tersebut dan terus menggencarkan aktivitas dakwahnya walau menanggung beragam ujian dan cobaan. Hingga berlalu 13 tahun dan setelah itu mekah ditakhlukkan, dihancurkan berhala yang disembah oleh orang kafir Quraisy. Firman ALLAH yang artinya : "Telah datang kebenaran dan hancur kebatilan sesungguhnya kebatilan itu pasti akan hancur " (QS Al Isra').
Tauhid adalah kewajiban tugas seorang muslim, dengannya dimulai dan diakhiri kehidupannya. Dan tugas dalam kehidupannya adalah menegakkan Tauhid, berdakwah kepada tauhid. Tauhid pula lah yang menyatukan hati-hati orang-orang yang beriman , dan kita mohon kepada Allah agar menjadikan kalimat Tauhid sebagai akhir kehidupan kita.
(QS An Nahl: 36)
" Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS Al Anbiya' : 25)
"Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS At Taubah: 31)
"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)."
(QS Az Zumar: 2-3)
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus"
(QS Al Bayyinah: 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
"Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala serta taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Orang yang merenungi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya." (Majmu' Fatawa 15/25)
Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil.
Jika syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bid'ah dan khurafat.
(Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4)
Setiap dakwah Islam yang baru muncul tidak dibangun di atas tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dan tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful ummah yang shalih, maka akan tersesat hina dan gagal, meski dikira berhasil, tidak sabar ketika berhadapan dengan musuh, tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat berhadapan (dengan berbagai rintangan).
Kita saksikan banyak contoh-contoh dakwah yang dicatat dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan akhir yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-tahun, yang telah mengorbankan nyawa dan harta kemudian berakhir dengan kebinasaan.
Namun seorang mu'min yang yakin dengan janji Allah yang pasti benar, tidak akan putus asa dan menjadi kendor, tidak akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak akan menerima jika sekian banyak percobaan-percobaan itu berlangsung silih berganti tanpa ada manfaat yang diambil atau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
(Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim (no 2998) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya (2/379)
Sudah ada teladan dan contoh yang paling bagus pada diri Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat." (QS Al Ahzab: 21)
Inilah manhaj pertama dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada tauhid, memulai dengan tauhid dan mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap penting.
Urgensi Tauhid
Untuk memperkokoh pemahaman kita tentang pentingnya aqidah tauhid dalam kehidupan, maka pada kesempatan ini Al Madina mencoba mengangkat tulisan syaikh jamil zainu seorang ulama besar di jazirah Saudi Arabia, yang disusun dalam poin-poin dengan maksud memudahkan pemahaman kita.
Allah telah menciptakan alam semesta untuk sebuah tujuan yaitu ibadah(tauhid), dan Allah mengutus para rasul untuk menyeru manusia kepada tauhid ini. Bahkan Al Quran mengkedepankan pembahasan tauhid ini dalam kebanyakan surat-suratnya.al quran pun memaparkan kejelekan syirik(lawan dari tauhid) yang berlaku pada individu dan masyarakat.
Syirik pula merupakan sebab kehancuran kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Sesungguhnya para Rasul memulai dakwah mereka untuk mengajak manusia kepada Tauhid. Firman ALLAH yg artinya : "Tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku" (QS Surat Al Anbiya')
Rasul pun mentarbiyah(memberikan pendidikan) kepada sahabatnya tentang tauhid ini semenjak mereka kecil, sebagaimana perkataan beliau terhadap ibnu Abbas
"Apabila Engkau memohon maka mohonlah kepada Allah dan apabila engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah ." ( HR. Tirmidzi )
Tauhid inilah hakikat dari agama Islam yang dibangun diatasnya bangunan Islam yang lain.
Rasul mengajarkan para sahabat agar memulai dakwahnya dengan tauhid, beliau bersabda kepada Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman :
" Jadikanlah awal yang kamu seru adalah syahadat Laa ilaaha illallah, pada riwayat yang lain agar mereka mentauhidkan Allah" ( Muttafaq Alaih)
Tauhid adalah perwujudan dari syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah yang maknanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan tidak beribadah kecuali dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Syahadat inilah yang memasukkan seseorang kepada Islam, ia juga kunci Surga, yang seorang akan masuk surga bila mengucapkannya selama tidak beraktivitas yang membatalkan Syahadat tersebut.
Kafir Qurays menawari Rasulullah dengan kekuasaan, harta, wanita dan materi dunia yang lain agar rasul meninggalkan dakwah Tauhid ini. Rasul menolak tawaran tersebut dan terus menggencarkan aktivitas dakwahnya walau menanggung beragam ujian dan cobaan. Hingga berlalu 13 tahun dan setelah itu mekah ditakhlukkan, dihancurkan berhala yang disembah oleh orang kafir Quraisy. Firman ALLAH yang artinya : "Telah datang kebenaran dan hancur kebatilan sesungguhnya kebatilan itu pasti akan hancur " (QS Al Isra').
Tauhid adalah kewajiban tugas seorang muslim, dengannya dimulai dan diakhiri kehidupannya. Dan tugas dalam kehidupannya adalah menegakkan Tauhid, berdakwah kepada tauhid. Tauhid pula lah yang menyatukan hati-hati orang-orang yang beriman , dan kita mohon kepada Allah agar menjadikan kalimat Tauhid sebagai akhir kehidupan kita.
Bagaimanakah Kita Diciptakan ?
Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!
Lalu pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah 'Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam 'Alaihis Salam :
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah." (Shad : 71)
Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat." (Ash Shaffat : 11)
Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur'an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (Al Mukminun : 12-14)
"Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … ." (Al Hajj : 5)
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa 'Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam 'Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin)." (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : 'Hasan shahih'. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait syi'irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau busuk.
Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Adam 'Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa 'Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
"Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … ." (Az Zumar : 6)
Dalam ayat lain :
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … ." (Al A'raf : 189)
Dari Adam dan Hawa 'Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani)." (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima') dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
"Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan." (Al Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah, Allah jadikan 'alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari 'alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai 'Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
"Fatabarakallahu ahsanul khaliqin"
Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan firman-Nya :
"Fatabarakallahu ahsanul khaliqin" untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta'ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi 'alaqah. Dari 'alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
" … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … ." (Az Zumar : 6)
Yang dimaksud "tiga kegelapan" dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu 'Abbas, Mujahid, 'Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Abi 'Abdurrahman 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) "Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya." (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?" Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?" Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu 'anhu, shahih)
Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging." Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?" Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : "Wahai Rabbku! Ini 'alaqah, ini mudhghah" pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta'ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … ."
Al Qadhi 'Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : "Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas'ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya."
Dalam ta'liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu A'lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi 'alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi 'alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan 'alaqah. Kemudian 'alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa'id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : "Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur)." (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) : 'Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .'
Sabda beliau ((… ????????…)) dengan menggunakan ((… ?? …)) menunjukkan diakhirkannya penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari yang pertama. Jawaban dari permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau ((… ????? ????? ????? ???? ???? ?? …)) merupakan ma'thuf dari sabdanya ((… ??????????????? …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((… ????????????????? …)). Maka sabda beliau ((… ????????????????? ???????????????????…)) merupakan kalimat sisipan antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur'an, hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
"Sabda beliau ((… ??????????????????????… )) merupakan ma'thuf dari (( … ????? … )). Adapun sabdanya (( … ?????… )) merupakan kesempurnaan dari kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan dalam hadits Ibnu Mas'ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja, bukan susunan yang diberitakan." (Fathul Bari 11/485)
Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma :
"Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi." (HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam hadits 'Ubadah bin Shamit radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : "Tulislah!" Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
"Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia." Maka seorang laki-laki berkata : "Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?" Maka beliau bersabda : "Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara." Kemudian beliau membaca : "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
"Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya)." (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam 'Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!
Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua.
Wallahu A'lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur'anul Karim.
2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma'tsur. Imam As Suyuthi.
4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al 'Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.
6. 'Aunul Ma'bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani.
9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali.
10. Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali.
11. Jami' Al Bayan fi Ta'wil Al Qur'an. Ibnu Jarir Ath Thabari.
12. Mu'jam Mufradat Alfadzil Qur'an. Al 'Allamah Al Ashfahani.
13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.
14. Shahih Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
15. Shahih Sunan At Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
16. Tafsir Ibnu Katsir. Al Hafidh Ibnu Katsir.
17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.
Artinya : Jejak kehidupannya.
Ma'thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya.
Ma'thuf 'alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak sesudahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin : 5)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!
Lalu pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?
Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah 'Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam 'Alaihis Salam :
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah." (Shad : 71)
Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat." (Ash Shaffat : 11)
Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur'an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (Al Mukminun : 12-14)
"Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … ." (Al Hajj : 5)
Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa 'Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.
Begitu pula penggambaran penciptaan Adam 'Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Al Hijr : 26)
Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin)." (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : 'Hasan shahih'. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)
Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait syi'irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau busuk.
Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Adam 'Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa 'Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
"Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … ." (Az Zumar : 6)
Dalam ayat lain :
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … ." (Al A'raf : 189)
Dari Adam dan Hawa 'Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani)." (As Sajdah : 7-8)
Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima') dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
"Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan." (Al Mursalat : 20-22)
Dari nuthfah, Allah jadikan 'alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari 'alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)
Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai 'Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
"Fatabarakallahu ahsanul khaliqin"
Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik
Lalu Allah turunkan firman-Nya :
"Fatabarakallahu ahsanul khaliqin" untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)
Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta'ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi 'alaqah. Dari 'alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
" … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … ." (Az Zumar : 6)
Yang dimaksud "tiga kegelapan" dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu 'Abbas, Mujahid, 'Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)
Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Abi 'Abdurrahman 'Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) "Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya." (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)
Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.
Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?" Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?" Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu 'anhu, shahih)
Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging." Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?" Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)
Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : "Wahai Rabbku! Ini 'alaqah, ini mudhghah" pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta'ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.
Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : "Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … ."
Al Qadhi 'Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : "Adapun sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas'ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya."
Dalam ta'liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu A'lam.
Perubahan janin dari nuthfah menjadi 'alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi 'alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan 'alaqah. Kemudian 'alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)
Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas'ud bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa'id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan Ishaq.
Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : "Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur)." (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.
Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) : 'Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … .'
Sabda beliau ((… ????????…)) dengan menggunakan ((… ?? …)) menunjukkan diakhirkannya penulisan Malaikat atas perkara-perkara tersebut setelah waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan dalam hadits-hadits yang lain penulisan itu ditetapkan setelah waktu 40 hari yang pertama. Jawaban dari permasalahan ini adalah bahwasanya sabda beliau ((… ????? ????? ????? ???? ???? ?? …)) merupakan ma'thuf dari sabdanya ((… ??????????????? …)) bukan dengan sabda sebelumnya yakni ((… ????????????????? …)). Maka sabda beliau ((… ????????????????? ???????????????????…)) merupakan kalimat sisipan antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih dan yang demikian ini dibolehkan dan biasa dijumpai dalam Al Qur'an, hadits yang shahih, dan selainnya dari ucapan orang-orang Arab."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
"Sabda beliau ((… ??????????????????????… )) merupakan ma'thuf dari (( … ????? … )). Adapun sabdanya (( … ?????… )) merupakan kesempurnaan dari kalimat-kalimat yang awal. Dan tidaklah yang dimaksudkan bahwasanya penulisan Malaikat itu baru terjadi setelah selesai tiga tahap kejadian (dari nuthfah sampai menjadi mudhghah). Bisa jadi (yang diberitakan dalam hadits Ibnu Mas'ud) yang dimaksudkan adalah untuk susunan berita saja, bukan susunan yang diberitakan." (Fathul Bari 11/485)
Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma :
"Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi." (HR. Muslim 2653, shahih)
Dalam hadits 'Ubadah bin Shamit radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : "Tulislah!" Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)
Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
"Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia." Maka seorang laki-laki berkata : "Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?" Maka beliau bersabda : "Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara." Kemudian beliau membaca : "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]
Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas'ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
"Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya)." (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)
Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam 'Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!
Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua.
Wallahu A'lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur'anul Karim.
2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma'tsur. Imam As Suyuthi.
4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al 'Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.
6. 'Aunul Ma'bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani.
9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali.
10. Jami' Al 'Ulum wal Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali.
11. Jami' Al Bayan fi Ta'wil Al Qur'an. Ibnu Jarir Ath Thabari.
12. Mu'jam Mufradat Alfadzil Qur'an. Al 'Allamah Al Ashfahani.
13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.
14. Shahih Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
15. Shahih Sunan At Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
16. Tafsir Ibnu Katsir. Al Hafidh Ibnu Katsir.
17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.
Artinya : Jejak kehidupannya.
Ma'thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya.
Ma'thuf 'alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak sesudahnya.
Selasa, 20 Desember 2011
Rambu-Rambu Ibadah
Kata ibadah tentu sangat akrab bagi kaum
muslimin. Ibadah merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
seorang muslim. Bahkan tujuan diciptakannya manusia dan jin oleh Allah Subhanahu
Wa Ta'ala tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya.
Di tengah rutinitas menjalankan aktivitas ibadah,
bisa jadi tidak semua muslim paham makna ibadah itu sendiri. Padahal,
ketidakpahaman makna ibadah bisa mengakibatkan tertolaknya ibadah yang
dilakukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Ubudiyyah
menerangkan, ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bisa terdiri dari ucapan maupun perbuatan,
baik nampak maupun tidak.
Semua yang Allah cintai telah Allah bawakan dalam
Al Qur’an dan diterangkan oleh RasulNya. Begitu pula apa yang Allah benci, telah
Allah jelaskan. Sehingga di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, Allah Subhanahu Wa
Ta'ala memerintahkan suatu perbuatan karena Allah mencintainya dan Allah
melarang sebuah perbuatan karena Allah membencinya. Karena itu, dalam kesempatan
lain Ibnu Taimiyyah mengatakan ibadah adalah taat kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dengan melakukan apa yang Allah perintahkan melalui lisan para
RasulNya.
Pendapat Al Qurthuby bisa melengkapi penjelasan
Ibnu Taimiyyah. Menurut Al Qurthuby, asal ibadah adalah kehinaan dan ketundukan.
Karena itu amalan-amalan syar’i pada seorang mukallaf (seorang mukmin
yang sudah terbebani syariat) disebut ibadah karena mereka mengamalkannya dalam
keadaan tunduk dan menghinakan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.
Dari dua pengertian ibadah tersebut, diperoleh
penjelasan bahwa sesuatu dikatakan sebagai ibadah kepada Allah jika dilakukan
pada segala yang dicintai dan diridhai Allah serta dilakukan dalam keadaan
tunduk dan hina di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Dari sini, dipahami pula bahwa ibadah terbagi ke
dalam dua jenis, yaitu ibadah lahir dan ibadah batin. Ibadah lahir mencakup
ucapan lisan dan perbuatan anggota badan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan
seterusnya.
Dalam melakukan ibadah, seseorang harus memiliki
landasan agar ibadah tersebut diterima Allah. Dalam hal ini, para ulama
menjelaskan, ada tiga landasan yang harus dimiliki seorang muslim dalam
beribadah. Landasan pertama adalah mahabbah, yaitu rasa cinta kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, RasulNya Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan syariatNya.
Landasan kedua adalah raja’, yaitu mengharap pahala dan rahmat Allah, dan
yang ketiga adalah khauf, rasa takut dari siksa Allah dan khawatir akan
nasib jelek di akhirat nanti.
Seorang ulama bernama Ibnu Rajab Al Hambaly
mengatakan, ibadah hanya akan terbangun di atas tiga prinsip, yaitu
khauf, raja’, dan mahabbah. Masing-masing dari ketiganya
harus ada dan wajib menggabungkannya. Karena itu para ulama salaf mencela orang
yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan salah satunya saja.
Demikian Ibnu Rajab menerangkan. (Syarh Wasithiyyah karya Abdul Aziz Ar
Rasyid hal. 76).
Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan,
barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan cinta, dia adalah
zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran). Siapa yang beribadah kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya dengan rasa takut maka dia adalah harury
(Khawarij, yang menganggap setiap yang berdosa besar telah kafir). Siapa
yang beribadah kepada Allah hanya dengan raja’ (penuh optimis), maka dia
adalah murji’ (orang yang menganggap amal shaleh tidak berpengaruh
terhadap imannya, selama masih ada iman di hatinya). Dan barangsiapa beribadah
kepada Allah dengan cinta, takut, dan mengharap maka dialah orang yang bertauhid
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (Ma’arijul Qabul 2/437).
Jadi, pengakuan cinta kepada Allah tanpa disertai
rasa hina, takut, mengharap, dan tunduk kepada Allah adalah pengakuan dusta.
Karena itu, sering dijumpai orang yang berperilaku demikian seringkali terjatuh
dalam maksiat dan dilakukan tanpa ia peduli. Demikian pula orang yang hanya
memiliki sikap raja’ (mengharap, penuh optimis dengan ampunan Allah),
jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat berani melakukan maksiat dan
merasa aman dari makar Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Dan orang yang hanya memiliki rasa takut dalam
beribadah kepada Allah, jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat
su’udhan (buruk sangka) kepada Allah dan akan berputus asa dari
rahmatNya.
Perlu diketahui dan diingat pula bahwa tidak
semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Allah baru akan menerima ibadah bila memenuhi syaratnya. Allah jelaskan
dalam surat Al Kahfi ayat 110,
artinya:
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan
Allah hendaknya ia beramal shaleh dan tidak membuat sekutu di dalam ibadah
kepada Rabb-nya sesuatupun.”
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerangkan dalam ayat
ini bahwa seseorang yang menghendaki pertemuan denganNya hendaklah melakukan dua
hal. Pertama, beramal shaleh menuruti syariat ini sebagaimana dicontohkan oleh
Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini mutlak dilakukan, sebab bila menyalahi
contoh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam akan ditolak karena terjerumus ke dalam
bid’ah. Hal ini sebagaimana Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam jelaskan
:
“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang
bukan atas perintahku maka tertolak.” (HR. Muslim dari
Aisyah).
Yang kedua, tidak membuat sekutu apapun dalam
beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Artinya, ia harus benar-benar ikhlas
dalam ibadahnya. Hanya ia niatkan dan tujukan kepada Allah semata. Tidak kepada
selainNya, baik benda-benda yang dikeramatkan atau makhluk-makhluk yang tidak
mampu memberikan manfaat atau mudharat. Orang yang melakukan kesyirikan dalam
ibadahnya akan Allah tolak sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala terangkan dalam
hadits Qudsi :
“Aku paling tidak butuh kepada sekutu.
Barangsiapa melakukan ibadah yang ia menyekutukan Aku, maka aku akan
meninggalkannya bersama sekutunya.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga menerangkan di
dalam Al Qur’an :
“Dialah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalannya.” (Al
Mulk : 2-3).
Perhatikan, Allah menyatakan yang paling baik
amalannya bukan sekadar paling banyak amalannya, tetapi salah. Seorang ulama
bernama Abu Ali Fudhail bin Iyadh berkata menafsiri ayat tersebut : “Yakni yang
paling ikhlas dan paling benar”. Beliau ditanya,
“Wahai Abu Ali, bagaimana yang
paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab, sesungguhnya sebuah
amalan jika ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar tapi
tidak ikhlas, tidak diterima hingga menjadi benar dan ikhlas (baru diterima).
(Majmu’ Fatawa 11/6)
Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya akan
menerima ibadah seorang hamba jika dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan dipersembahkan hanya untukNya semata.
Ibadah itu juga dilakukan dengan dilandasi rasa cinta, penuh mengharap, dan juga
takut. Dengan demikikan sempurnalah ibadah itu dan diharap Allah Subhanahu Wa
Ta'ala akan menerimanya. Wallahu A’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)